SIKAP ORANG PERCAYA MENGHADAPI
MASALAH EKONOMI
YOSUA OKTAPIANUS HUMENDRU
STTIA TABERNAKEL INDONESIA
Abstrak:
Masalah perkekonomian merupakan hal
yang berkaitan dengan penghidupan jasamani manusia. Berbagai cara dilakukan
oleh manusia untuk memenuhi kebuuhan primer (jasmani). Terpenuhinya sebuah
kebutuhan primer seseorang ditentukan oleh kesuksesan ekonomi yang dibutuhkan.
Manusia sering melakukan berbgai cara untuk memeperoleh kehidupan yang layak,
mampu membiayai kebutuhan hidup yang diperlukan. Masalah mengenai perekonomian
bukan hany orang sekuler saja yang mengalami hal ini. Masalah ini juga bisa
ditemui ditengah – tengah umat percaya. Terjadi diskriminasi terhdap orang –
orang miskin, bahkan masalah ekonomi yang bisa terjadi dikalangan orang percaya
rela meninggalkan iman percayanya demi memenuhi kebutuhan jasamaninya. Lalu
bagaimana sikap orang percaya yang benar menurut ALkitab menghadapi masalah
ekonomi?
Kata kunci: Orang percaya,
Ekonimi, sikap yang benar (Alkitabiah)
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Setiap orang percaya memiliki
masalah yang berbeda – beda. Bila ditinjau dalam teks Alkitab secara
komprehensf, tidak pernah Tuhan menyatakan bahwa ketika seseorang percaya
kepada Tuhan, mengikut Tuhan, maka tidak ada masalah yang dihadapi. Tuhan
dengan jelas mengatakan bahwa ketika seseorang percaya maka di dalam hidupnya
nyata kuasa Tuhan. Salah satu masalah yang timbul di dalam kehidupan orang
percaya yakni masalah perkonomian. Dalam Kekristenan masalah ekonomi tidak
memiliki secara tertulis untuk teologi ekonomi (bisnis). Namun demikian bukan
berarti orang percaya atau gereja tidak memiliki pandangan tentang
perekonomian. Menurut Eka darmaputera, di kalangan Kristen berkembang sebuah
pemikiran bahwa sama – sama menaruh perhatian serta peduli baik terhadap
dimensi kehidupan bersifat material maupu spiritual, yang sosial maupun
individual.[1] Pada konferensi tentang
Iman Kristen dan Bisnis di Oxford pada tanggal 4-9 1990 yang dikenal dengan
Deklarasi Oxford. Dalam deklarasi itu dikatakan bahwa Tuhan mempercayakan bumi
ini di tata dan dipelihara oleh umat manusia. Materialisme, ketidakadilan,
pemerkosaan secara fundamental bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Memang
secara eksplisit dikatakan bahwa Tuhan memberikan segala sesuatu untuk
dinikmati. [2]
Dalam surat Paulus mengatakan bahwa
“Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”[3]
Bekerja untuk mencari kebutuhan hidup
merupakan sebuah anugerah dan panggilan. Itulah sebabnya orang percaya bekerja
dan bila perlu bekerja dengan giat dan keras. Seorang professor bernama R. W.
Mackekey II, of Business Administration dari Departement of Business
Administration, Pepperdine Universsity menuliskan “Proposing A Bliblical
Approach to Economics.” Mengaitkan antara ekonomi masyarakat dan kebutuhan
manusia itu memang merupakan masalah manusia yang berakar pada kebutuhan dan
ketidakpuasan yang tidak ada habisnya. Sejak manusia itu merasa memiliki
kebutuhan yang harus dipenuhi atau dipuaskan, mereka terus di dorong untuk
mencari dan memperoleh apa yang diinginkannya itu dengan berbagai cara.[4]
Masalah secara umum, bisa dilihat
mengenai masalah perekonomian di tengah orang – orang percaya, ketika
kebutuhannya sudah tercapai masih ada lagi keinginan yang belum terselesaikan.
Mengapa? Karena aka nada terus keinginan yang muncul dan kebutuhan lainnya
secara terus menerus berkelanjutan. Masalah juga yang sering muncul adalah
timbulnya rasa tidak pernah puas, timbulnya keserakahan. Alkitab dengan jelas
mengemukakan bahwa orang yang serakah itu tidak akan mendapat bagian dalam
kerajaan Kristus (Efesus 5:5).
PEMBAHASAN
A.
Dasar kebutuhan
masalah ekonomi
Mulainya timbul masalah ekonomi di
awali dengan masuknya dosa dalam dunia. Ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam
dosa, Tuhan memberikan sebuah perintah yang mendasar dengan hukuman yang
diberikan kepada manusia “Dengan bersusah payah engkau mencari rezekimu..
Kejadian 3:7. ” ayat ini sangat jelas bahwa untuk mencari nafkah atau
penghidupan dibutuhkan kerja keras yang disertai dengan banyak kesulitan dan
penderitaan. Manusia harus melakukan pekerjaan yang ekstra mengeluarkan
keringat terlebih dahulu baru bisa makan, memenuhi kebutuhannya. Jadi, dalam
hal ini tidak ada bermalas – malasan atau tidak mau melakukan pekerjaan.
Menurut M. Douglas Meeks melihat
sistem ekonomi yang berlaku saat ini cenderung memisahkan Tuhan (Teologi)
dengan ekonomi. Pemisahan Tuhan dengan ekonomi ini telah terjadi secara gradual
dan pelik[5].
Ide pemisahan Tuhan dengan ekonomi menjadi lahar subur bagi tumbuhnya pemikiran
yang menuntut kebebasan penuh bagi pasar untuk mengatur dirinya sendiri. Meek
menolak ide yang memisahkan Tuhan dari ekonomi. Menurutnya, ada hubungan yang
erat antara konsep Tuhan dengan ekonomi. Meeks memperlihatkan ada banyak
persamaan antara istilah – istilah dalam Alkitab dengan istilah ekonomi.
Menurutnya para penulis Perjanjian Baru dan para teolog mula – mula, memahami
ekonomi sebagai pengetahuan tentang pekerjaan – pekerjaan yang dilakukan Allah.
Allah bukan hanya melakukan penyelamatan melainkan mengurus kehidupan manusia
dalam kehidupan di dunia ini. Meek menawarkan konsep “Allah Sang Ekonomi”. Ini
merupakan konsep yang sangat menarik sekaligus janggal dilihat secara sekilas.
Walupun begitu Meek mengagap bahwa sangat tepat sekali sebagai metafora yang
menggambarkan Allah dan karya-Nya sebagaiman dinyatakan dalam Alkitab. Metafora
tersebut digunakan untuk menemukan kembali aspek – aspek yang hilang
(terabaikan) dari hidup dan karya Allah dalam Yesus Kristus.
Meeks juga mencatat ada tiga konsep
Tuhan dengan ekonomi:
a. Konsep – konsep Tuhan dalam ekonomi pre-kapitalis yang
menunjuk pada Allah sebagai pleniopotent (Yang Mahakuasa).
b. Penyisihan Tuhan dalam pasar. Dalam hal ini konsep
Tuhan diangap sebagai dasar bagi kebijakan politik pemerintah yang membatasu
transaksi – transaksi dalam pasa, sehingga harus disisihkan agar tidak
mengganggu mekanisme pasar.
c. Tuhan dipahami sebagai pemberi janji. Ia adalah Allah
yang tinggal di tengah – tengah manusia dan dekat dengan mereka yang miskin dan
tertindas. Kemanusiaan dinyatakan di dalam ekonomi Allah, di mana Allah hadir
agar manusia hidup dalam kelimpahan.
B.
Orang Percaya dan Ekonomi
Orang percaya adalah status yang
sudah diubahkan, dan memiliki keubahan hidup tidak serupa dengan dunia ini.
Orang percaya harus memiliki pandangan atau mindset yang berbeda mengenai
masalah ekonomi serta memiliki sikap yang benar untuk menghadapinya. Lalu
bagaimana seharusnya sikap orang percaya menghapi masalah ini? Untuk itulah hal
ini menjadi tantangan bagi orang percaya untuk memecahkan kasus ini berlandaskan
pada kebenaran Allah.
Masalah
ekonomi perlu sekali melihat prinsip – prinsip kebenaran Alkitabiah. Dalam Perjanjian
Baru khususnya tulisan surat Paulus dikatakan bahwa orang – orang Kristen atau
jemaat itu harus bekerja (1 Tesalonika 4:10 – 11; 2 Tesalonika 3:10) sebagai
suatu kewajiban sekaligus sebagai kebutuhan, namun harus tetap waspada terhadap
mencintai uang ( 2 Timotius 3:2).
Rasul Paulus dengan jelas mengatakan
bahwa biarlah yang kaya menjadi kaya dalam kemurahan hati ( 1 Timotius 6:17 –
19). Yakobus juga memberikan peringatan yang sangat keras terhadap orang –
orang yang hidupnya hanya mengejar kekayaan, karena hidup yang sifatnya sangat
sementara, seperti uap, yang hanya sebenatar kelihatan kemudian lenyap tak
berbekas (Yakobus 2:1-7; 4:13-5:6). Dalam Perjanjian Lama Salomo juga
mengingatkan demikian, “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan
niatmu ini. Kalau engkau mengamati – amatinya, lenyaplah ia, karena tiba – tiba
ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali (Amsal 23:4 – 5).
Seorang tokoh bernama Mackay
menyebutkan bahwa ada tiga hal penting yang harus dilakukan agar manusia
terbebas dari beban ekonomi dan tercukupi kebutuhannya yakni:
a. Bekerja (Working)
Allah menciptakan manusia dengan
organ tubuh yang diberikan dengan potensi untuk bekerja. Allah mendesain segala
sesuatu untuk kebutuhan manusia (Kejadian 3:17 – 19). Namun setelah terjadi
kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia harus mengusahakannya sendiri dengan
mengolah tanah yang diberikan Tuhan agar bisa memperoleh kebutuhan untuk makan.
Oleh karena itu Kitab Amsal mengecam
keras orang – orang yang disebutnya sebagai pemalas, yang dikiaskan seperti
pintu yang berputar pada engselnya. Pekerjaannya cuman tidur melulu, enggan
bangun dari tempat tidurnya (Amsal 26:14). Padahal kemalasan adalah pankal dari
kemiskinan (26:13). Tipe dari orang semcam ini cenderung akan mengalami
kegagalan dalam pekerjaannya, bahkan pekerjaan mudah sekalipun (Amsal 19:24).
Akhiranya para pemalas itu akan berpotensi menjadi beban keluarga dan tidak
berguna sama sekali bagi orang lain (Amsa 10:26, 18:9). [6]
Pada akhirnya orang – orang yang mala situ akan menemukan dirinya bangkrut dan
kehilangan segala – galanya (Amsal 24:30-31). Paulus juga dengan tepat sekali
mengatakan kepada jemaat di Tesalonika, “Kalau tidak mau bekerja, ya jangan
makan, (no work, no food). Sebab, juga
pada waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu;
jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakana ini karena
kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak mau bekerja,
melainkan sibuk dengan hal – hal yang tidak berguna. Orang – orang yang
demikian kami peringati dan nasehati dalam nama Tuhan Yesus Kristus, supaya
mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya
sendiri (2 Tesalonika 3:10 – 12).
b. Menyimpan (Saving)
Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa orang – orang
yang hidup dalam Tuhan harus berhikmat dalam memanajemen keuangan. Kitab Amsal,
mangajarkan bahwa manusia perlu belajar dari semut yang rajin dan memiliki
naluri menyimpan (Menabung) Amsal 6:6-9 dan Amsal 30:25. Ayat ini mengajarkan tentang
suatu prinsip yang bijaksana. Yang menjadi penekanan di ayat ini adalah musin
panas dan musim panen. Waktu musim panas menyiapkan roti, dan ketika musim
panen tiba mengumpulkan makanan. Jadi tidak ada waktu untuk berhenti bekerja.
Semut memberikan teladan dalam hal ketekunan kerja dan menabung. Menabung bukan
berarti untuk diri sendiri, melainkan untuk orang – orang terdekatnya (Keluarga).
Rasul Paulus memberikan sebuah
penekanan, bukan anak – anak yang harus mengumpulkan harta untuk orangtuanya,
melainkan orang tualah untuk anak – anaknya (2 Korintus 12:14). Dalam hal ini
Rasul Paulus mengajarkan hal mendasar tentang tanggungjawab orang tua untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun seringkali yang ditemui di dalam dunia
real, seakan semua terbalik. Orang tua yang malas akan dihidupi oleh anaknya,
bahkan anak di usia masih belum cukup, di suruh untuk bekerja keras. Seorang
tokoh bernama Yusuf di catat dalam Kejadian 41 dalam konteks menabung ini
sangat cocok sekali, sebab Yusuf memiliki tujuan dalam mengumpulkan makanan
pada saat itu, untuk menghidupi kebutuhan bagi seluruh penduduk.
c. Memberi (Giving)
Pemahaman yang sering keliru tentang
memberi adalah ketika memberi maka akan mengalami kekurang materi, bahkan
mengancam kebutuhan diri sendiri. Ini hal yang sangat kontras dengan prinsip
Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa semakin banyak memberi maka semakin banyak
menerima. Hidup kekristenan yang sejati berarti harus memberi dan berkorban (Kisah
2:41-47; 1 Korintus 16:1-4). Hal ini dilakukan oleh Tuhan Yesus, bahkan dengan
menyerahkan diri-Nya hingga mati di kayu salib. Oleh karena itu manusia jangan
serakah, jangan kikir, jangan tamak. Segala sesuatu yang dimiliki semata – mata
hanya dari Anugerah Tuhan bagi kehidupan di dunia. Tuhan Yesus dengan tegas
mengajarkan bahwa jangan mengumpulkan atau menimbun harta di bumi, karena
ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi
kumpulkanlah bagimu harta di surge (Matius 6:19 – 20) dan apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya (Markus 8:36). Kebutuhan
hanya akan terpenuhi dan terpuaskan ketika setiap orang bertemu dengan Sang
Pemberi kebutuhan, bertemu dengan firman Allah dan memiliki-Nya secara pribadi.
Itulah harta dan kebutuhan orang percaya yang bersifat kekal.
C.
Pandangan Kekristenan tentang kebutuhan ekonomi
Kepentingan
orang percaya tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi, salah satunya adalah
manusia membutuhkan uang untuk bisa melakukan transaksi barang dan jasa.
Pandangan kekristenan tentang uang tentunya berbeda sama sekali dengan
pandangan orang – orang duniawi. Pandangan dunia mengatakan bahwa uang
merupakan sesuatu yang diperoleh karena usaha sendiri, karena nasib baik dank
arena kemujuran diri sendiri. Namun hal ini berbeda dengan pandangan
kekristenan. Uang gunanya bukan hanya dipakai untuk kepuasan diri sendiri, atau
menjadi tujuan akhir, sehingga banyak orang yang menikmati tantangan dalam
mencari uang dengan penuh kerakusan, tamak gairah, dan nafsu yang sama seperti
ketika menghabiskannya. Seorang tokoh bernama Hudson Armerding mengatakan demikian
“dunia melihat uang saya sebagai hasil dari usaha saya sendiri, itu milik saya.
Beberapa ahli teori ekonomi bahkan mengatakan bahwa pajak adalah perampokan
sebab uang itu adalah benar – benar individual.” [7] Ia
juga mengatakan bahwa uang itu dimiliki agar bisa menggunakannya dengan cara –
cara yang mendatangkan kemuliaan bagi Allah saja.
Orang Kristen menganut system
sosialisme menuntut, kekayaan pribadi akan mendorong keserakahan dan iri hati,,
sedangkan kepemilikan public akan menyingkirkan banyak godaan untuk melakukan
dosa. Banyak orang Kristen yang sudah menduduki sebuah jabatan melakukan
tindakan yang tidak terpuji bahkan termasuk di dalamnnya adalah hamba Tuhan
yang sering mencari dan memperoleh keungtungan melalui ibadah. 1 Timotius
6:5-10 Paulus mengingatkan Timotius untuk menghadapi guru palsu yang
disebutkannya sebagai penipu licik yang mencari keuntungan melalui peningkatan
ibadah di Efesus. Memperlakukan ibadah sebagai sarana untuk mencari keuntungan.[8] John
piper mengatakan bahwa banyak hamba Tuhan dan orang Kristen yang suka mencari
keuntungan besar melalaui kegiatan ibadah. Dalam tinjauan Perjanjian Lama
Kejadian 3:17 – 19 Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras. Hanya oleh
kemurahan-Nya, Allah mengizinkan bahwa manusia yang bersungguh – sungguh
memenuhi tugasnya akan diberikan upah
dengan kekayaan pribadi. Amsal juga mengatakan bahwa “tangan orang yang
lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya.” (Amsal
10:4). Jadi, sebenarnya Allah mendorong setiap manusia itu untuk berusaha
dengan keras namun perlu diperhatikan dan diingat bahwa semua itu harus
dipertanggjawabkan.
D.
Dimensi Ekonomi dan Peran Kekristenan
Ekonomi harus dipahami dijelaskan
sebagai pengelolaan kemurahan Allah bagi kepentingan Umat seluruh ciptaan
Allah. Allah yang membuat manusia menjadi kaya dan sejahtera. Allah memberkati,
janji berkat (Kejadian 12:1-3), berlaku tiga sudut pandang yakni: Sudut pandang
Allah, sudut bangsa tetangga dan diri Abraham sendiri. Abraham selalu
menciptakan persahabatan dengan tetangganya, agar mereka memberkati Abraham.
Berkat yang nyata bagi Abraham dan langsung dinikmatinya adalah dari
tetangganya. Demikian juga sebaliknya Allah akan memberi berkat kepada tetangganya.
Sasaran berkat bagi bangsa tetangga Abraham mempunyai dua fungsi, sekali bangsa
tetangga sebagai subjek berkat, dan sekali sebagai objek berkat. [9]
Allah Selalu memperhitungkan Abraham
dalam hubungannya dengan tetangga – tetangga, ia tidak berdiri sendiri. Sikap
dan iman Abraham harus menciptakan dunia sekeliling agar persaudaraan,
perdamaian, dan kesejahteraan tercipta untuk bersama. Dalam hal ini sebuah
kunci yang terlihat bahwa Allah memberi berkat kepada umat-Nya, tetapi mereka
harus menjadi saluran berkat kepada bangsa disekitarnya. Berkat Allah membawa
kesejahteraan atau kemakmuran kepada umat Allah (Ulangan 15:14, 18). Janji
berkat Allah kepada Abraham juga berlaku atas umat percaya masa kini. Ada tiga
sudut pandang yakni: sudut pandang Allah, sudut pandang sesama dan sudut
pandang diri sendiri. Allah telah memberkati umat percaya, maka umat percaya
harus membangun relasi yang baik dengan sesame untuk menjadi berkat.
Siklus yang terjadi dalam kehidupan
orang percaya yakni; memberi, menerima memberi dan begitupun seterusnya. Sistem
ekonomi saling memberi dan menerima ini membuat kehidupan ekonomi Israel
menjadi hidup. Siklus saling memberi dan menerima ini semestinya dikembangkan
di antara umat percaya dalam komunitas. Umat yang sudah diberkati akan
mendapatkan kemandirian ekonomi karena ditolong oleh umat lain. Ketika
kemandirian ekonomi sudah tercapai, saatnya untuk memberi orang lain yang perlu
dibangun kemandirian ekonominya. Siklus ini membuat ekonomi komunitas umat
percaya menjadi hidup karena ada dinamika memberi dan menerima yang tidak ada
putusnya.
Dinamika Saling memberi dan menerima
menunjukkan sikap keaktifan dua belah pihak. Masing – masing pihak akan
mempunyai saat untuk memberi atau menerima. Ha ini tidak terjadi hanya pada kalangan
umat yang kaya dengan yang kaya atau umat yang miskin dengan yang miskin.
Dinamika yang terjadi atas semua kalangan ini, membuat ekonomi menjadi hidup
kembali. Selalu terjadi perputaran uang yang saling menguntungkan. Yang kaya
tidak dirugikan dengan memberi dan miskin dibangun kemandirian ekonominya dan
saatnya bagi dia untuk memberi dan membangun kemandirian ekonomi orang lain.
Memberi dan menerima tidak hanya terjadi dalam interkasi sosial. Di dalam
Peribadatan pun hal ini dilakukan. Umat menyembah membagi korban dengan imam
dan umat yang lain dan mereka menikmatinya bersama. Umat penyembah diminta
mengambil bagian dalam mendukung kebutuhan hidup para imam. Korban yang
diberikan kepada para imam ini akan sering dilakukan. Kemandirian ekonomi umat
berdampak bagi pembangunan Bait Suci Allah termasuk di dalam penghidupan para
imam.
Dalam penatalayanan, orientasi
ekonomi adalah kepentingan orang banyak, khususnya yang lemah dan tak memiliki
material. Ekonomi yang sukses adalah ekonomi yang berhasil melayani kepentingan
orang banyak. Sebab hal itu bukan hanya untuk kepentingan produsen, tetapi juga
konsumen, bukan hanya pengembangan tetapi juga pemerataan. Dimensi ekonomi umat
Tuhan dalam PL mengandung pemahaman iman kekristenan yakni;
a. Harta Kekayaan bukan milik pribadi melainkan milik
Allah.
Harta kekayaan yang dikelola secara pribadi, harus
dipergunakan untuk keperluan Allah, didalamnya memiliki pemahaman bahwa
tujuannya untuk kesejahteraan bersama. Pandangan ini bisa diperluas, bahwa
segala sesuatu tentang kepunyaan dan hak milik harus bedasarkan pada pemikiran
milik Allah. Segala bentuk kegiatan ekonomi yang hanya menguntungkan pribadinya
sendiri atau individu, tidak berlaku bagi kehidupan orang Kristen. Pemahaman
ini harus tertanam dalam kehidupan umat percaya, sebab ekonomi harus dipahami
bahwa sebisa mungkin mendayagunakan potensi yang ada dengan produktivitas yang
tinggi, lalu membagi dan memakainya secara adil dan merata demi kesejahteraan
orang banyak. [10]
b. Pengelolaan harta kekayaan pribadi dilakukan dengan
asas saling memberi dan menerima. Saling dilakukan dengan melibatkan keaktifan
berbagai pihak sebagai pemberi dan penerima. Pihak yang mampu akan memberi
kepada pihak yang miskin, sehingga yang miskin mempunyai kemandirian ekonomi
dan suatu saat nanti akan memberi juga kepada orang lain, dan siklus ini
berputar terus secara aktif tiada henti. Maka dinamika ekonomi dalam
kekristenan akan menjalar kepada iman orang lain, tidak bersifat eksklusif.
Dinamika ekonomi harus memiliki dampak pada ekonomi kehidupan orang banyak
secara keseluruhan. Ekonomi harus bisa berjalan sesuai dengan tanggungjawab
manusia terhadap dunia tempat kediaman manusia, artinya kegiatan ekonomo wajib
diarahkan kepada dunia yang sejahtera.
c. Orang percaya menjadikan makan bersama sebagai wadah
untuk menjaga persaudaraan di dalam Tuhan. Dengan adanya perkumpulan makan
bersama ada nilai yang terkandung saling memberi dan menerima, membangun
persekutuan, saling memperhatikan dan hal ini adalah ciri keluarga yang satu
akan menjadi masalah komunitas. Sehingga ekonomi dan persekutuan dibangun
bersama untuk kesejahteraan bersama. Saling memberi dan menerima dalam
komunitas, menciptakan saling ketergantungan dan rasa membutuhkan satu sama
lain.
Orang percaya atau kekristenan harus
sebisa mungkin memproklamirkan kabar tentang Kerjaan Tuhan kepada orang – orang
miskin secara materi, menyambut dalam berbagai kalangan persekutuan dan
mengambil bagian dalam pergumulan dan problema – problema yang dihadapi.
Seorang Uskup bernama David Shppard mengungkapkan dalam tulisnnya “bias to the
poor” bahwa ada kecenderungan Ilahi kepada orang – orang yang terlantarkan. Ia
menjelasakan pula bahwa gereja tidak boleh mentolerir kemiskinan material di
antara umatnya. Perjanjian Lama mengatakan bahwa orang – orang miskin tidak
henti – hentinya akan ada dalam negeri itu (Ulangan 15:11). Hal ini bukan
sebagai alasan berpuas diri, melainkan sebagai dorongan untuk bermurah hati,
sehingga menghasilkan kesejahteraan diantara umat Tuhan (Ulangan 15:4).
Gereja atau lembaga kekristenan
sebagai komunitas umat percaya semestinya mengembangkan siklus “memberi dan
menerima”. Dengan memberikan pengajaran dan memberikan wadah bagi umat untuk
mempunyai kesempatan memberi hingga orang yang diberi memiliki kemandirian
ekonomi, dan tindakan ini diteruskan kepada umat yang lain. Rantai ini terus
memilki siklus yang tidak ada putusnya, sampai berkat – berkat Tuhan tercurah
ke atas seluruh umat-Nya. Pemberian dilakukan dalam intensitas yang sering dan
kualitas sangat baik. Hal ini dilakukan karena selalu mengingat bahwa yang
empunya harta adalah Allah sendiri dan umat hanyalah pengurus penatalayanan.
PENUTUP
Kesimpulan
Sikap orang percaya dalam
mengahadapi segal persoalan mengenai ekonomi, harus memiliki pandangan atau
presuposisi yang berdasarkan pada prinsip kebenaran. Kebutuhan ekonomi di
kalangan orang percaya sangat signifikan bagi kelangsungan hidup orang percaya,
baik secara individu maupun kelompok. Kebutuhan ekonomi manusia didasari pada
perintah Allah kepada manusia. Allah pada mulanya menciptkan segala sesuatu
untuk keberlangsungan hidup manusia. Allah memerintahkan manusia untuk
mengelola, menguasai, memelihara dan bertanggujawab atasnya.
Berjalannya waktu setelah manusia
jatuh ke dalam dosa, manusia tidak lagi mempertimbangkan maksud dan tujuan
Allah mengenai kebutuhan akan ekonomi. Manusia juga mengalami masalah – malasah
ekonomi seperti kemiskinan, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Juga masalah
yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri adalah melakukan kejahatan;
seperti melakukan korupsi, adanya keserakahan, ketamakan, pemerasan, dll.
Permasalahan ini juga terjadi dalam kehidupan orang percaya, bahkan yang
mirisnya masalah ini terus menerus dilakukan. Bahkan dikembangkan dalam
oraganisasi – oraganisasi rohani (gereja) dijadikan sebagai lahan mencari
keuntungan.
Sikap orang percaya dalam menghadapi
permasalahan ekonomi sesuai dengan pengajaran Alkitab adalah; Seseorang itu
harus bekerja, berusaha keras, dan tidak melakukan perbuatan – perbuatan jahat
demi mendapatkan solusi dari masalah – masalah ekonomi yang sedang terjadi.
Jadi, keberhasilan orang percaya dalam menghadapi masalah ekonomi ditentukan
dengan sikap hati yang berlandaskan pada prinsip kebenaran Tuhan.
[1]
Eka Darmaputera, Etika Sederhana Untuk Semua, Bisnis, Ekonomi, dan
penatalayanan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), halaman 88.
[2]
Tanggal 4-9 Januari 1990 yang diikuti oleh 100 pemimpin Gereja Injili dari
berbagai benua yang memiliki ideology yang berbeda, diikuti oleh banker, para
teolog, ahli ekonomi, ahli etika, pelaku bisnis dan praktisi lainnya.
[3] II
Tesalonika 3:11b.
[4] R.
W. Mackey, II. Proposing A Biblical Approach to Economics, dalam John
MacArthur, Think Biblically (Wheaton, Llionis: Crossway books) halaman 297.
[5] M.
Dougla Meek, Goo The Economist, The Doctrine of God and Political Economy,
Minneapolis: Fortress Press, 1989, halaman 47.
[6]
Derek Kidner, Proverb: An Introduction anda Comentary (Downer Grove, IL:IVP,
1964) Halaman 42.
[7]
Kutipan dari Hudson T. Armerding, Pandangan Kristen tentang uang dalam
penerapan praktis pola hidup Kristen (Malang – Surabaya – Bandung; Gandum Mas,
Yakin, Kalam Hidup, 1989), halaman 911.
[8]
John Piper, Mendambakan Allah (Terjemaan: Surabaya, Penerbit Momentum, 2008)
halaman 204.
[9]
A.A. Sitompul, Gereja dan kontekstualisasi: beberapa unsur ekonomi dalam
Alkitab (Perjanjian Lama) Jakarta; Pustaka sinar harapan, 1998, halaman 153.
[10]
Eka Damaputera, Etika sederhana untuk semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), Halaman 60.
0 Comments