Peribadatan
Perjanjian Baru (Sinagoge dan gereja)
Pada masa Perjanjian Baru, ibadah bukan
lagi hanya pada Bait Suci (Ul. 12:5; 2 Taw. 6:5-6) namun telah dilakukan
dibanyak tempat yang disebut Sinagoge. Secara sederhana sinagoge dapat
diartikan sebagai tempat beribadah orang Yahudi. Sinagoge berasal dari bahasa
Yunani, syn yang berarti bersama dan agoge yang berarti belajar. Pada
perkebangannya kemudian mengarah pada kehidupan institusional orang Yahudi dan
segala yang berkaitan dengannya, seperti kehidupan sosial, pendidikan dan
agama. Namun demikian, bagi agama Yahudi, sinagoge bukanlah bertujuan untuk
menggantikan peran Bait Suci tetapi hanya lebih kepada tempat peribadatan
ritual bait suci yang diadaptasikan.[1]
Didalam Sinagoge, penyelidikan Taurat menggantikan
upacara kurban, rabi menggantikan imam dan kepercayaan kelompok diterapkan pada
kehidupan perorangan dan dipimpin oleh seorang kepala rumah ibadat. [2] Kebaktian
sinagoge meliputi; pendahuluan yang terdiri dari “deklarasi berkat” pembukaan, pembacaan
ritual pengakuan iman Yahudi atau Shema,
“dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4, 5) dan dilanjutkan dengan pembacaan doa.
Selanjutnya, pembacaan bagian tertentu dari hukum Taurat dan biasanya juga
pembacaan satu bagian dari kitab para nabi. setelah pembacaan ini, seseorang
akan dipanggil secara sukarela untuk menambahkan tafsiran atau menarik nasihat
dari bagian tersebut. Kemudian diakhiri dengan permohonan berkat yang diucapkan
oleh seorang imam.[3]
Sinagoge berkaitan erat dengan asal-usul
tata cara beribadah gereja atau kekristenan. Pada zaman-Nya, Yesus sendiri
menghadiri dan turut terlibat dalam kebaktian sinagoge. Dalam perjalanan
penginjilan, Pauluspun menjadikan sinagoge sebagai tujuan pertamanya saat
memasuki suatu kota asing, dan ia
mengajar serta bertukar pikiran dengan orang Yahudi maupun umat asing yang
berkumpul disitu (Kis. 13:5, 15-43; 14:1; 17:1-3, 10, 17; 18:4, 8; 19:8). Hal
ini memungkinkan terserapnya prosedur upacara sinagoge kedalam gereja dan hal
inipun terlihat dari kemiripan prosedur upacara gereja hingga batas tertentu
dengan sinagoge.[4] Namun demikian, gereja
berdiri sendiri dan berbeda dengan Israel. Gereja sendiri mulai berdiri pada
Hari Pentakosta. Adapun keberadaan gereja didukung oleh kesimpulan-kesimpulan
berikut: (1) Tuhan kita berkata; “Aku akan mendirikan jemaatKu” (Mat. 16:18)
dan tidak mengatakan akan terus menambahkan pada sesuatu yang sudah ada, namun
baru akan dimulai. (2) Gereja memiliki Kepala setelah Kristus bangkit, sebab
gereja tidak mungkin ada sebelum kebangkitan Kristus dari antara orang mati
(Ef. 1:20) dan (3) baru beroperasi setelah kenaikan Kristus ke surga (Ef. 4:7-12).[5] Adapun
stuktur ibadah dalam gereja mengalami proses adaptasi sesuai dengan denominasi
dan doktrin gereja tersebut. Secara umum
ibadah gereja diselenggarakan dengan; pendahuluan doa, pujian penyembahan,
pembacaan Firman dan atau kotbah, lalu doa berkat sebagai penutup ibadah.[6]
[1] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan
relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1,
September 2020; 49-50.
[2] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 114
[3]
H. E. Dana, The New Testament
World: politik, ekonomi, social-budaya & agama di zaman Perjanjian baru
(Malang: Gandum Mas, 2016). Hlm. 84
[4] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 115
[5]
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 2
(Yogyakarta: Andi, 2010). Hlm. 191-192
[6] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan
relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1,
September 2020; 63.
0 Comments