BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Peribadatan dalam Perjanjian Lama
identik dengan peribadatan yang dilakukan oleh Israel Kuno. Perjanjian Lama
memuat bentuk-bentuk dan makna ibadah yang
dilakukan oleh bangsa Israel dihadapan Allah. Perlu diketahui bahwa tidak cukup
hanya memperhatikan bentuk dari ibadah yang dilakukan melainkan makna dari
ibadah itu sendiri. Kualitas ibadah terdapat dalam suasananya, dalam jiwanya, bukan
dalam bentuk – bentuknya.[1] Ibadah
juga sering dikatakan sebagai hakikat dalam suatu agama dan merupakan jalinan
secara vertical kepada Tuhan dan diwujudkan dalam nilai – nilai atau norma
kehidupan dalam hubungannya terhadap sesama (Horizontal).[2]
Ibadah
sering dipahami secara sempit; ketika pergi ke gereja, membaca Alkitab, berdoa,
memberi persembahan, atau tindakan rohani, hal itu dipandang sebagai ibadah.
Memang hal itu tidak salah, itu hanya bagian dari ibadah, tetapi esensi dari
sebuah ibadah itu sendiri bukan terletak pada upacaranya dan ritualnya. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya degradasi dari makna sebuah ibadah akibat dari hal ini
degradasi moral pun ikut terjadi. [3]
Orang-orang memahami ibadah secara
umum hanya sebatas ritual dan upacara-upacara keagamaan dan hanya berlaku pada
tempat-tempat tertentu, seperti gereja, dan waktu-waktu tertentu, tidak
mencakup seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. Ibadah juga sering dipahami
hanya sebagai sudut pandang dari sebuah jasmaniah, seperti kesalehan, tingkah
laku, etika, dan lainnya. Dengan hal inilah pengertian tentang ibadah
sering dipahami dan dimaknai secara
sempit. Akibatnya ketika menghadapi sebuah persoalan maka nilai ibadah itu
tidak kelihatan sebab dipahami secara sempit. Hal ini juga menjadi penyebab
timbulnya konflik-konflik dalam masalah sosial, moral, kriminal dan masalah
lainnya. Maka akibatnya terjadi krisis moral.
Dalam New Dictionary of Theology; jilid 3, dikatakan
bahwa ’ibadah merupakan gambaran perasaan kagum manusia di hadirat yang maha
luar biasa dan inti dari penyembahan kristen adalah Allah
sendiri.’ Hal tersebut menekankan dua unsur dasar, yaitu penyataan Allah kepada
manusia dan yang melaluinya, manusia menanggapiNya. [4]
Pengkhotbah 1:9, menyatakan bahwa; ‘Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah
dibuat akan dibuat lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari’. Dari kebenaran teks ini, diketahui bahwa ibadahpun yang
dulu telah ada dan bukanlah sesuatu yang baru di masa kini, namun demikian,
apakah perkebangan zaman tidak merubah makna dari ibadah itu sendiri? [5]
Ibadah semakin berkembang bukan hanya di dalam sebuah
gedung (ritual), melainkan ibadah umat itu berlangsung dalam kehidupan sehari –
hari (ibadah yang aktual). Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi
mendukung dan memperlengkapi. Namun pada kenyataannya, dalam konteks beribadah
saat ini terjadi krisis dalam memaknai ibadah persekutuan orang percaya. Orang
malas beribadah bersama karena kurang memahami makna ibadah itu sendiri. Ada
juga yang malas beribadah karena tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan;
tidak mendapatkan solusi dari masalah yang dihadapi, tidak mengalami kesembuhan
fisik, tidak mengalami pemulihan dalam keluarga. Juga termasuk masalah ibadah
terasa kering, kaku, monoton, tidak ada perkembangan.[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Ibadah
memiliki arti: perbuatan atau pernyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang
didasari oleh peraturan agama; segala usaha lahir dan batin yang sesuai
perintah agama yang harus dituruti pemeluknya; upacara yang berhubungan dengan
agama. Atau dalam aktualisasi kehidupan
sehari-hari ibadah adalah segala aktivitas, perbuatan, perkataan, dan pikiran
yang ditujukan demi kemuliaan nama Kristus.
Hal-hal tersebut terlihat sebagai suatu esensi dari ibadah namun jika
melihat ibadah yang dilakukan didalam perjanjian lama, khususnya di kemah suci
dan membandingkannya dengan masa kini jelas sangat berbeda dalam
pelaksanaannya. [7]
Dengan
demikian para teolog dan orang-orang percaya yang mengikuti Tuhan dan beribadah
kepadaNya, harus memiliki perspektif yang benar tentang ibadah, untuk memaknai
ibadah yang sejati kembali kepada prinsip yang Alkitabiah, dalam memaknainya
serta mewujudkannya dalam kehidupan sebagai orang percaya.
BAB II
PEMBAHASAN
Makna Ibadah
Kata Ibadah dalam Perjanjian Lama adalah בַד yang artinya work, serve. Kata ini muncul 290 kali
dalam Pejanjian Lama. Etimologi katanya tampak berbagi ide dari beberapa akar
kata Semit juga bahasa Aram lama yang memiliki arti yakni: “Melakukan atau
membuat,” akar kata dari bahasa Arab yang berarti “Memuja, menaati” Tuhan dan
akar intensifnya berarti memperbudak mengurangi menjadi budak.
Pelayanan
ini dapat ditujukan kepada benda – benda, orang – orang atau Tuhan. Ketika
digunakan untuk merujuk kepada hal – hal itu biasanya diikuti oleh akusatif
dari hal yang di atasnya tenaga kerja dikeluarkan, misalkan “ menggarap” ladang
(Kejadian 2:5). Kategori kedua diikuti oleh akusatif orang, misalkan Yakub
melayani Laban (Kejadian 29:15; Kejadian 30:26, 29). Hal ini menjelaskan bahwa
menggunakan orang lain sebagai budak (Keluaran 1:14; Yeremia 22:13; atau dalam
kata dasar Pual dengan tawanan (Yesaya 14:3).
Perhambaan
juga mencakup untuk melayani sebagai bawahan raja atau penguasa (1 Samuel
11:1). Dalam kata Hiphil itu berarti memaksa seseorang untuk bekerja sebagai
budak (Keluaran 1:13). Akan tetapi, ketika pelayanan dipersembahkan kepada
Allah, itu bukanlah perbudakan melainkan pengalaman spiritual yang
menggembirakan dan membebasakan (Keluaran 3:12; 4:23; 7:16; 10:26; Maz 22:31;
Ayub 21:15; Yeremia 2:20 Mal. 3:14).[8]
Kata
ibadah didalam Keluaran 12:25 “Dan
apabila kamu tiba di negeri yang akan diberikan TUHAN kepadamu, seperti yang
difirmankan-Nya, maka kamu harus pelihara ibadah ini” nats tersebut
memberikan kita pengertian bahwa ibadah merupakan perintah Allah kepada umat
pilihan-Nya. Tujuan dari keluarnya bangsa Israel dari Mesir adalah untuk
beribadah kepada Allah dan untuk menduduki Tanah Perjanjian. Dengan demikian
ibadah merupakan insiatif Allah sendiri untuk umat-Nya supaya memiliki relasi
yang baik dengan-Nya. Musa melanjutkan pada ayat yang 26-27 “Dan apabila anak-anakmu berkata kepadamu:
Apakah artinya ibadahmu ini? maka haruslah kamu berkata: Itulah korban Paskah
bagi TUHAN yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir, ketika Ia menulahi
orang Mesir, tetapi menyelamatkan rumah-rumah kita." Lalu berlututlah
bangsa itu dan sujud menyembah”. Arti dari ibadah bagi orang Israel adalah
sebagai ucapan syukur kepada Yahweh atas keselamatan anak sulung yang tidak
tertimpa tuluh kesepuluh oleh Allah, yaitu kematian anak sulung, yang hanya
terjadi bagi orang Mesir saja. Keselamatan anak sulung Israel hanya oleh karena
kemuarahan Allah saja, sehingga ucapan syukur dari pemeliharaan tersebut, maka
Israel mempersembahkan korban paskah sebagai ibadah. Melalui perlindungan Allah
dan persembahan Israel kepada Allah, maka itu disebut sebagai ibadah. Dengan
kata lain, ibadah merupakan ucapan syukur kepada Allah atas pemeliharaan dan
perlindungan-Nya kepada umat pilihan-Nya.
Setelah
keluar dari Mesir Musa mendirikan mezbah bagi Tuhan selama penggembaraan bangsa
Israel di Padang Gurun, setelah keluar dari tanah Mesir. Allah juga menyuruh
Musa dan seluruh bangsa Israel mendirikan Tabernakel sebagai wujud kerinduan
Allah untuk berdiam ditengah-tengah umat-Nya
(Kel. 25:8). Kemah suci dibuat sebagi pusat ibadah dan tempat pertemuan bani
Israel dengan Allah. Kemah suci dibangun saat perjalanan di Padang Gurun,
kemudian Gilgal (Yosua 4:19; 5:10-11; 9:6; 10:6, 46) setelah berhasil menyebrangi Sungai Yordan dan menaklukkan
Tanah Kanaan. Gilgal hanya tempat sementara untuk pembangunan Kemah suci,
sehingga di pindahkan di Silo. Kemah suci Musa adalah kaabah Allah yang menjadi
pusat perbaktian orang-orang Israel yang keluar dari Mesir. Kemah suci Musa
dibangun sesuai petunjuk Tuhan kepada Musa. Kaabah dibangun dengan persembahan
khusus orang Israel, persembahan berupa keahlian (Bezaleel dan Aholiab) dan
materi seperti dunia binatang (bulu kambing, domba, kulit lumba-lumba dan kulit
lokan) dan persembahan dunia tumbuhan (benang lenan, kayu penaga, minyak,
wangian-wangian) dan persembahan dari dunia mineral (emas, perak, tembaga dan
permata).
Kemah
suci di bangun dengan ukuran khusus dan ditempatkan di tengah-tengah perkemahan
bani Israel. Kemah suci dibangun menghadap ke Timur (Kel.38:9-20). Dibangun
dengan tiga bagian yaitu pelataran, tempat kudus dan tempat Mahakudus. Didalam
kaabah ada dua kegiatan ibadah yaitu ibadah pagi dan petang dan ibadah hari pendamaian
atau hari grafirat.
Jadi,
ibadah merupakan persekutuan manusia dengan Allah dimana didalamnya terdapat
relasi dan keintiman. Ibadah merupakan wujud dari kasih Allah kepada umat-Nya
untuk menyatakan diri dan berdiam ditengah-tengah mereka.
Konsep
peribadatan dalam PL
Pada
awalnya ibadah merupakan persembahan pribadi kepada Allah, seperti yang
dilakukan oleh Kain dan Habel (Kej.4:4). Hal ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya ibadah merupakan ungkapan batin seseorang yang mengakui bahwa Allah yang
berdaulat. Kemudian ibadah berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah
umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah
satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya
dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan (Pada
waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara
bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah Tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat
ini TUHAN akan bertemu dengan Israel Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36)[9]
Pentingnya
ibadah dalam Kitab Perjanjian Lama khususnya kitab keluaran menjelasakan
tentang tempat peribadadatan dilakukan yakni di kemah Suci. Allah memberikan
petunjuk tentang pendirian Kemah Suci mengajarkan bahwa bangsa Israel dididik
Allah untuk beribadah sesuai dengan tata cara yang Allah tetapkan, dan buakn
sesuai dengan keinginan bangsa Israel. Kemah Suci harus dibangun, ditata sesuai
dengan perintah Allah, karena Allah mempunyai misi pengajaran melaluinya.
Melalui ibadah Allah mengajar umat-Nya.[10]
Ibadah Dalam PL tidak dapat
dilepaskan dari karya Pembebasan dan Perjanjian. Ibadah harus didasarkan pada
Pembebasan dan Perjanjian. Ibadah yang sejati hanya dapat terwujud dalam
kehidupan manusia yang telah dibebaskan oleh Allah dan mengikat Perjanjian
dengan Allah. Ibadah dibangun di atas dasar pembebasan dan perjanjian. Ibadah
yang sejati itu lahir dari umat yang telah mengalami karya penebusan dan
pembebasan Allah. Pembebasan Alah dan penebusan Allah yang memungkinkan setiap
umat-Nya beribadah kepada-Nya. Umat Israel tidak hanya mengalami penebusan
tetapi juga dituntut untuk hidup dalam komitmen yang totalitas kepada Allah.
Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat. Musa
adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang
diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya.
Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang
sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci
dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari oleh
pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam kehidupan Nasional
Yahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena
pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan penting (Disamping tempat
ibadah, orang Yahudi juga
memiliki kalender tahunan untuk upacara agamawi. Diantaranya yang amat penting
adalah : Hari Raya Paskah (Kel. 12:23-27), Hari Raya Perdamaian (Im. 16 : 29 –
34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya
Roti Tidak Beragi Kel.12:14-20).
Dalam
Perjanjian Lama Musa mengmbil peranan penting bagi bangsa Issrael untuk
beribadah kepada YHWH yang menjadi satu – satunya figur yang harus disembah.
Para penyembah di Israel Kuno melakukan upacara kurban karena kesadaran bahwa
adanya keterasingan dari Allah oleh karena dosa dan ketidaktaan. Relasi antara
umat Israel dengan Allah harus dipulihkan kembali supaya mendapat hidup sejati
dan penuh damai. Hal ini perlu proses pendamaian bagi Allah dengan Umat Israel.
Ada beberapa hal yang dilakukan terkait proses pendamain yakni;
·
Pertama, binatang
disembelih. Peristiwa ini mengingatkan umat berdosa yang patut dihukum mati,
karena kejahatan mengakibatkan kematian, hal itu berarti berpisah dari
persekutuan Allah yang tidak dapat membiarkan kejahatan.
·
Kedua, Imam
mengambil darah kurban (Mewakili kehidupan orang berdosa yang diserahkan
dihadapan Allah) dan membawanya ke mezbah sebagai tindakan pendamaian yakni
masalah dosa telah diselesaikan, kemudian Allah dam orang bisa kembali
bersekutu.
·
Ketiga, binatang
yang sudah disembelih diletakan di atas mezbah di Bait Allah sebagai tanda
bahwa orang – orang berdosa yang telah diampuni itu menyerahkan seluruh dirinya
kepada Allah.
·
Keempat, sebagian
daging yang masih tersisa dimakan dalam suatu santapan, yang menunjukkan bahwa
orang berdosa telah dipulihkan hubungannya bukan hanya dengan Allah tetapi juga
dengan orang lain. (Persekutuan dengan manusia dan Allah telah dipulihkan lewat
pengurbanan). Jadi, dalam PL upacara pengurbanan merupakan suatu cara simbolis
yang memungkinkan orang berdosa dipulihkan hubungannya dengan Allah.[11]
Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam kemah
pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal
ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana
pun Dia dipilih untuk menyatakan diriNya. Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci
merupakan realitas rohani, jelas dari fakta bahwa ketika tempat suci itu
dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di babel, ibadat tetap merupakan
kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge,
yang terdiri dari:
1. Shema’
2. Doa-doa
3. Pembacaan Kitab Suci
4. Penjelasan
Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua kebaktian-kebaktian harian, sabat,
perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa, serta pujian dan buku puji-pujian
memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan faktor amat penting dalam kehidupan
nasional Yahudi.[12][13][14][15]
Pemimpin
ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam yang telah dipilih dan
ditetapkan. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas
pelayanan ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan
pada Hari raya agama lainnya. Sedangkan ibadah sinagoge terdiri dari Shema,
doa, pembacaan Kitab Suci serta penjelasannya. Ibadah juga merupakan suatu
kewajiban agama sebagaimana Tuhan perintahkan (Ul. 11:8-11). Namun, pada
hakekatnya ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di
tempat-tempat ibadah, tetapi mencakup sebuah pelaksanaan kewajiban agama
seperti: sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, taurat dan doa. [16]
Tujuan Umat Israel
Melakukan Ibadah
Allah
menciptakan manusia dengan tujuan utama yaitu agar manusia memuliakan dan
menghormati-Nya dalam kehidupan sehari-hari (Yesaya 43:7). Allah merasa
dipermuliakan dan dihormati apabila manusia itu melakukan firman Allah dalam
segala aspek kehidupan, baik dalam kehidupan antar sesama manusia maupun antar
manusia dengan Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah harus memeteraikan
di dalam hatinya bahwa kehidupan yang dijalankan bukan untuk kepentingan
dirinya sendiri tetapi juga demi kemuliaan Allah. Yeremia pun mencatat hal
tersebut “Aku tahu, ya, Tuhan bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan
jalannya..(Yeremia 10:23). Demikian juga Paulus mengatakan hal demikian kepada
jemaat di Galatia “aku hidup tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup,
melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang
di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah....(Gal. 2:21). [17]
Makna
Peribadatan dalam PB
Kata ibadah dalam Perjanjian Baru adalah λειτουργία yang memiliki
arti adalah pertama, sebagai kegiatan ritual pelayanan seorang imam. Kedua,
kegiatan pelayanan umat Kristen. Pelayanan yang dilakukan untuk dipersembahkan
kepada Allah. Namun dalam hal ini pelayanan juga bukan hanya merujuk pada
pelayanan Bait Suci melainkan pelayanan kepada sesama (Lukas 10:25; Matius
5:23; Yohanes 4:20; Yakobus 1:27). Melalui korban Kristus disalib menggenapi
seluruh system persembahan koran dalam ibadah PL, maka dengan hal ini
peribadatan yang dilaksanakan tidak perlu ada pencurahan darah lagi (Ibrani 9:1
– 10:18). Melalui sakramen Perjamuan Kudus peribadatan dalam Perjanjian Baru
terus menerus diperingati korban Kristus satu kali untuk selamanya (1 Korintus
11:23 – 26).
Pelaksanaan
ibadah dalam PB selalu identic dengan pujian (Kisah 2:46 – 47; 16:25; Roma
15:10 – 11; Ibrani 2:12). Di zaman Para Rasul berdoa terus menerus setelah
Yesus naik ke surga (Kisah Para Rasul 1:14) dan doa menjadi bagian tetap dari
Ibadah Kristen bersama (Kisah 2:42; 20:36; 1 Tesalonika 5:17). Doa – doa ini
biasanya bagi diri sendiri (Kisah Para Rasul 4:24 – 30) atau merupakan doa syafaat
demi orang lain (Roma 15:30 – 32; Efesus 5:20; Filipi 4:6; Kolose 3:15, 17; 1
Tesalonika 5:18). Selain itu juga dalam ibadah Perjanjian Baru terdapat
pengakuan dosa, Yesus juga mengajarkan dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:12).
Pembacaan
Kita Suci merupakan bagian tetap dari ibadah di sinagoge pada hari sabat (Lukas
4:16; KPR 13:15). Juga orang percaya berkumpul dalam ibadah mendengarkan firman
Tuhan (1 Timotius 4:13; Kolose 4:16; 1 Tesalonika 5:27) bersama ddengan ajaran,
khotbah dan nasihat berlandaskan pembacaan firman (1 Timotius 4:13; 2 Timotius
4:2; KPR 19:8 – 10; 20:7).
Peribadatan
Perjanjian Baru (Sinagoge dan gereja)
Pada masa Perjanjian
Baru, ibadah bukan lagi hanya pada Bait Suci (Ul. 12:5; 2 Taw. 6:5-6) namun
telah dilakukan dibanyak tempat yang disebut Sinagoge. Secara sederhana
sinagoge dapat diartikan sebagai tempat beribadah orang Yahudi. Sinagoge
berasal dari bahasa Yunani, syn yang
berarti bersama dan agoge yang
berarti belajar. Pada perkebangannya kemudian mengarah pada kehidupan
institusional orang Yahudi dan segala yang berkaitan dengannya, seperti
kehidupan sosial, pendidikan dan agama. Namun demikian, bagi agama Yahudi,
sinagoge bukanlah bertujuan untuk menggantikan peran Bait Suci tetapi hanya
lebih kepada tempat peribadatan ritual bait suci yang diadaptasikan.[18]
Didalam Sinagoge,
penyelidikan Taurat menggantikan upacara kurban, rabi menggantikan imam dan
kepercayaan kelompok diterapkan pada kehidupan perorangan dan dipimpin oleh
seorang kepala rumah ibadat. [19]
Kebaktian sinagoge meliputi; pendahuluan yang terdiri dari “deklarasi berkat”
pembukaan, pembacaan ritual pengakuan iman Yahudi atau Shema, “dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu
Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4, 5) dan dilanjutkan dengan pembacaan
doa. Selanjutnya, pembacaan bagian tertentu dari hukum Taurat dan biasanya juga
pembacaan satu bagian dari kitab para nabi. setelah pembacaan ini, seseorang
akan dipanggil secara sukarela untuk menambahkan tafsiran atau menarik nasihat
dari bagian tersebut. Kemudian diakhiri dengan permohonan berkat yang diucapkan
oleh seorang imam.[20]
Sinagoge berkaitan erat
dengan asal-usul tata cara beribadah gereja atau kekristenan. Pada zaman-Nya,
Yesus sendiri menghadiri dan turut terlibat dalam kebaktian sinagoge. Dalam
perjalanan penginjilan, Paulus pun
menjadikan sinagoge sebagai tujuan pertamanya saat memasuki suatu kota asing, dan ia mengajar serta bertukar
pikiran dengan orang Yahudi maupun umat asing yang berkumpul disitu (Kis. 13:5,
15-43; 14:1; 17:1-3, 10, 17; 18:4, 8; 19:8). Hal ini memungkinkan terserapnya
prosedur upacara sinagoge kedalam gereja dan hal inipun terlihat dari kemiripan
prosedur upacara gereja hingga batas tertentu dengan sinagoge.[21]
Namun demikian, gereja berdiri sendiri dan berbeda dengan Israel. Gereja
sendiri mulai berdiri pada Hari Pentakosta. Adapun keberadaan gereja didukung
oleh kesimpulan-kesimpulan berikut: (1) Tuhan kita berkata; “Aku akan
mendirikan jemaatKu” (Mat. 16:18) dan tidak mengatakan akan terus menambahkan
pada sesuatu yang sudah ada, namun baru akan dimulai. (2) Gereja memiliki
Kepala setelah Kristus bangkit, sebab gereja tidak mungkin ada sebelum
kebangkitan Kristus dari antara orang mati (Ef. 1:20) dan (3) baru beroperasi
setelah kenaikan Kristus ke surga (Ef. 4:7-12).[22]
Adapun stuktur ibadah dalam gereja mengalami proses adaptasi sesuai dengan
denominasi dan doktrin gereja tersebut. Secara
umum ibadah gereja diselenggarakan dengan; pendahuluan doa, pujian
penyembahan, pembacaan Firman dan atau kotbah, lalu doa berkat sebagai penutup
ibadah.[23]
Ibadah merupakan
penyembahan dan untuk memuliakan Allah, baik dalam suatu komunitas maupun
secara individual. Ibadah bukanlah
sekadar rutinitas yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan jadwal program yang
ada atau melaksanakan suatu pertunjukkan rohani.[24]
Didalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus memakai istilah ibadah yang secara
langsung maupun tidak langsung merujuk kepada pertemuan jemaat. Pertama, merujuk kepada ibadah di perjanjian Lama (Rm.
9:4) dan juga kepada kehidupan orang percaya Perjanjian Baru (Rm. 12:2).[25]
Selain itu, ia juga menguraikan unsur-unsur ibadah yang mencakup setiap aspek
kehidupan dan iman, seperti; tidak menjadi serupa dengan dunia, pembaharuan
budi, pembedaan yang baik dari yang jahat, yang merupakan apa yang dikenan dan
dikehendaki Allah (Rm. 12:2).[26]
Ibadah didasarkan pada
pribadi, sebagai mana adanya Allah dan apa yang telah Ia lakukan (Rm. 8:32).
Yang pada gilirannya, seperti yang disimpulkan Letham “dari Bapa melalui Anak oleh Roh Kudus”. Dimana Allah yang telah
bekerja dalam sejarah sebagai sejarah Penebusan dari Allah bagi umatNya (Gal.
4:4-6).[27]
Dalam tulisannya, Dasar-dasar iman Kristen, James M. Boice, memberikan beberapa
prinsip-prinsip tentang suatu penyembahan menurut Alkitab:[28]
-
Penyembahan
didikehendaki oleh Allah (Yoh. 4:23)
-
Hanya
Allah yang boleh disembah (20:3-5)
-
Penyembahan
adalah tanda dari iman yang menyelamatkan (Flp. 3:3)
-
Penyembahan
adalah aktivitas korporat (Why. 5:13-14)
-
Allah
tidak berkenan akan semua penyembahan (Mrk. 7:6-7)
Penyembahan yang benar dan dikehendaki Allah adalah yang
secara actual dari manusia.
Relevansi Ibadah Masa Kini
Ibadah yang dilakukan oleh
orang percaya masa kini beorientasi pada
pribadi Yesus sebagai wujud Allah yang disembah. Allah harus menjadi tujuan
dari ibadah itu sendiri, serta penyembahan diarahkan kepada Allah bukan untuk
diri sendiri. Ibadah pada masa sekarang jemaat berkumpul di suatu tempat
(gedung gereja) pada setiap hari minggu. Jemaat harus bersama-sama mangaku
bahwa Yesus adalah Tuhan. Ibadah yang dilakukan masa kini terdapat pujian, doa,
penyembahan dan firman Tuhan.
Ibadah harus dipahami sebagai sarana yang membawa kepada
pemulihan relasi dengan Allah, pengharapan masa kini (di dunia) dan masa yang
akan dating (kekekalan). Jadi, ibadah yang dilakukan oleh orang percaya masa
kini berfokus pada Allah dan tidak dipengaruhi oleh situasi, dan kondisi yang
dialami oleh orang percaya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ibadah dalam PL
adalah sebagai persekutuan dengan Allah di dalam ketaatan kepada kehendak Allah dan sebagai
ucapan syukur, rasa hormat atas karya pembebasan umat Tuhan. Ibadah dalam PB
adalah sebagai penyembahan untuk
memuliakan Allah, baik dalam suatu komunitas maupun secara individual. Sehingga Ibadah bukan
hanya sekedar rutinitas yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan hukum seremonial melainkan
karena memiliki pemahaman, motivasi yang benar dalam menyembah Allah.
Jadi, ibadah dalam
PL dan PB memiliki makna/tujuan yang sama, berfokus kepada Allah dengan berelasi dan memuliakan Allah.
Namun Ibadah yang pertama (PL) bersifat terikat dengan hukum seremonial, sedangkan
Ibadah yang kedua (PB) bersifat “bebas” dengan beradaptasi pada budaya sekitar
pada batas tertentu dan lebih menekankan makna/tujuan ibadah itu sendiri.
[1]
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, (Worship in ancient Israel), Gunung Mulia,
2004, halaman 3.
[2]
Daniel Yudianto, Becoming A True Worshipper, (Menggali makna, merenungkan,
memaknai, dan mewujudnyatakan ibadah yang sejati dalam keseharian.
Yogyakarta,ANDI, 2005, hlm.
1.
[3] Ibid., 1
[4] New Dictionary of Theology: Jilid 3
(Malang: SAAT, 2015). Hlm. 330
[5]
Surya Adhy Kusuma, Makna Sebuah Gereja, Ibadah, dan Iman Kristiani (Yogyakarta:
Gereja Bethany, 2005) hlm 23
[6]
Lucyana Henny, Konsep Ibadah yang benar dalam Alkitab, Jurnal Teologi, Misiologi
dan Pendidikan, Volume 4. No. 1, Juni 2020, halaman 74.
[7] https://kbbi.web.id/ibadah. online,
Internet, Accessed Oct. 11, 2021
[8] Kutipan bibleworks, ±ebed. Slave,
servant. The form appears 799 times in the OT.
[9]
Paul Erns, The moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi (Malang:
Literatur SAAT, 2006), halaman 65.
[10]
Sia kok sin, Konsep teologi tentang ibadah dalam kitab Keluaran, Jurnal
Theologia Aletheia, Volume 5 No. 8 Maret 2003 halaman 7.
[11] Ibid
6, halaman 79
[12] Ray C Stedman, Petualangan Mempelajari
Perjanjian Lama dari Tulisan Asli (Jakarta: duta Harapan Dunia, 2010), 87
[13] Samuel J Schultz, the Old Testament Speaks
(Wheaton: Illionis Publishing ) 16
[14] A. Cronbach, Whorship ini Old Testament,
dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible.(Nashville, Abingdon Press) 879
[15] Paul Basden, The Whoship Mase, Downers
Grove (Illionis Inter-Varsity Press, 1999) 17.
[16] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 9.
[17] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4
(Jakarta: BPK Gunung Msulia, 2009) 25.
[18] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan
relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1,
September 2020; 49-50.
[19] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 114
[20]
H. E. Dana, The New Testament
World: politik, ekonomi, social-budaya & agama di zaman Perjanjian baru
(Malang: Gandum Mas, 2016). Hlm. 84
[21] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 115
[22]
Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 2
(Yogyakarta: Andi, 2010). Hlm. 191-192
[23] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan
relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1,
September 2020; 63.
[24] Howard F. Sugden, Warren W. Wiersbe,
Jawaban atas masalah Penggembalaan
(Malang: Gandum Mas, 2009). Hlm. 83
[25] Herman Ridderbos, Paulus: pemikiran
utama theologinya (Surabaya:
Momentum, 2008). Hlm. 509
[26] French L. Arirington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta
(Yogyakarta: ANDI, 2020). Hlm. 519
[27] Robert Letham, Allah Trinitas, (Surabaya: Momentum, 2014). Hlm. 433
[28] James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya:
Momentum, 2018). 678-679
0 Comments