MAKNA PERIBADATAN IBADAH DALAM PL DAN PB

 

        

 

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

            Peribadatan dalam Perjanjian Lama identik dengan peribadatan yang dilakukan oleh Israel Kuno. Perjanjian Lama memuat bentuk-bentuk dan makna  ibadah yang dilakukan oleh bangsa Israel dihadapan Allah. Perlu diketahui bahwa tidak cukup hanya memperhatikan bentuk dari ibadah yang dilakukan melainkan makna dari ibadah itu sendiri. Kualitas ibadah terdapat dalam suasananya, dalam jiwanya, bukan dalam bentuk – bentuknya.[1] Ibadah juga sering dikatakan sebagai hakikat dalam suatu agama dan merupakan jalinan secara vertical kepada Tuhan dan diwujudkan dalam nilai – nilai atau norma kehidupan dalam hubungannya terhadap sesama (Horizontal).[2]

Ibadah sering dipahami secara sempit; ketika pergi ke gereja, membaca Alkitab, berdoa, memberi persembahan, atau tindakan rohani, hal itu dipandang sebagai ibadah. Memang hal itu tidak salah, itu hanya bagian dari ibadah, tetapi esensi dari sebuah ibadah itu sendiri bukan terletak pada upacaranya dan ritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya degradasi dari makna sebuah ibadah akibat dari hal ini degradasi moral pun ikut terjadi. [3]

            Orang-orang memahami ibadah secara umum hanya sebatas ritual dan upacara-upacara keagamaan dan hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu, seperti gereja, dan waktu-waktu tertentu, tidak mencakup seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. Ibadah juga sering dipahami hanya sebagai sudut pandang dari sebuah jasmaniah, seperti kesalehan, tingkah laku, etika, dan lainnya. Dengan hal inilah pengertian tentang ibadah sering  dipahami dan dimaknai secara sempit. Akibatnya ketika menghadapi sebuah persoalan maka nilai ibadah itu tidak kelihatan sebab dipahami secara sempit. Hal ini juga menjadi penyebab timbulnya konflik-konflik dalam masalah sosial, moral, kriminal dan masalah lainnya. Maka akibatnya terjadi krisis moral.

Dalam New Dictionary of Theology; jilid 3, dikatakan bahwa ’ibadah merupakan gambaran perasaan kagum manusia di hadirat yang maha luar biasa dan inti dari penyembahan kristen adalah Allah sendiri.’ Hal tersebut menekankan dua unsur dasar, yaitu penyataan Allah kepada manusia dan yang melaluinya, manusia menanggapiNya. [4]

Pengkhotbah 1:9, menyatakan bahwa; Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Dari kebenaran teks ini, diketahui bahwa ibadahpun yang dulu telah ada dan bukanlah sesuatu yang baru di masa kini, namun demikian, apakah perkebangan zaman tidak merubah makna dari ibadah itu sendiri? [5]

Ibadah semakin berkembang bukan hanya di dalam sebuah gedung (ritual), melainkan ibadah umat itu berlangsung dalam kehidupan sehari – hari (ibadah yang aktual). Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi mendukung dan memperlengkapi. Namun pada kenyataannya, dalam konteks beribadah saat ini terjadi krisis dalam memaknai ibadah persekutuan orang percaya. Orang malas beribadah bersama karena kurang memahami makna ibadah itu sendiri. Ada juga yang malas beribadah karena tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan; tidak mendapatkan solusi dari masalah yang dihadapi, tidak mengalami kesembuhan fisik, tidak mengalami pemulihan dalam keluarga. Juga termasuk masalah ibadah terasa kering, kaku, monoton, tidak ada perkembangan.[6]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Ibadah memiliki arti: perbuatan atau pernyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari oleh peraturan agama; segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti pemeluknya; upacara yang berhubungan dengan agama.  Atau dalam aktualisasi kehidupan sehari-hari ibadah adalah segala aktivitas, perbuatan, perkataan, dan pikiran yang ditujukan demi kemuliaan nama Kristus.  Hal-hal tersebut terlihat sebagai suatu esensi dari ibadah namun jika melihat ibadah yang dilakukan didalam perjanjian lama, khususnya di kemah suci dan membandingkannya dengan masa kini jelas sangat berbeda dalam pelaksanaannya. [7]

            Dengan demikian para teolog dan orang-orang percaya yang mengikuti Tuhan dan beribadah kepadaNya, harus memiliki perspektif yang benar tentang ibadah, untuk memaknai ibadah yang sejati kembali kepada prinsip yang Alkitabiah, dalam memaknainya serta mewujudkannya dalam kehidupan sebagai orang percaya.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Makna Ibadah

            Kata Ibadah dalam Perjanjian Lama adalah  בַד  yang artinya work, serve. Kata ini muncul 290 kali dalam Pejanjian Lama. Etimologi katanya tampak berbagi ide dari beberapa akar kata Semit juga bahasa Aram lama yang memiliki arti yakni: “Melakukan atau membuat,” akar kata dari bahasa Arab yang berarti “Memuja, menaati” Tuhan dan akar intensifnya berarti memperbudak mengurangi menjadi budak.

            Pelayanan ini dapat ditujukan kepada benda – benda, orang – orang atau Tuhan. Ketika digunakan untuk merujuk kepada hal – hal itu biasanya diikuti oleh akusatif dari hal yang di atasnya tenaga kerja dikeluarkan, misalkan “ menggarap” ladang (Kejadian 2:5). Kategori kedua diikuti oleh akusatif orang, misalkan Yakub melayani Laban (Kejadian 29:15; Kejadian 30:26, 29). Hal ini menjelaskan bahwa menggunakan orang lain sebagai budak (Keluaran 1:14; Yeremia 22:13; atau dalam kata dasar Pual dengan tawanan (Yesaya 14:3).

            Perhambaan juga mencakup untuk melayani sebagai bawahan raja atau penguasa (1 Samuel 11:1). Dalam kata Hiphil itu berarti memaksa seseorang untuk bekerja sebagai budak (Keluaran 1:13). Akan tetapi, ketika pelayanan dipersembahkan kepada Allah, itu bukanlah perbudakan melainkan pengalaman spiritual yang menggembirakan dan membebasakan (Keluaran 3:12; 4:23; 7:16; 10:26; Maz 22:31; Ayub 21:15; Yeremia 2:20 Mal. 3:14).[8]

 

Kata ibadah didalam Keluaran 12:25 “Dan apabila kamu tiba di negeri yang akan diberikan TUHAN kepadamu, seperti yang difirmankan-Nya, maka kamu harus pelihara ibadah ini” nats tersebut memberikan kita pengertian bahwa ibadah merupakan perintah Allah kepada umat pilihan-Nya. Tujuan dari keluarnya bangsa Israel dari Mesir adalah untuk beribadah kepada Allah dan untuk menduduki Tanah Perjanjian. Dengan demikian ibadah merupakan insiatif Allah sendiri untuk umat-Nya supaya memiliki relasi yang baik dengan-Nya. Musa melanjutkan pada ayat yang 26-27 “Dan apabila anak-anakmu berkata kepadamu: Apakah artinya ibadahmu ini? maka haruslah kamu berkata: Itulah korban Paskah bagi TUHAN yang melewati rumah-rumah orang Israel di Mesir, ketika Ia menulahi orang Mesir, tetapi menyelamatkan rumah-rumah kita." Lalu berlututlah bangsa itu dan sujud menyembah”. Arti dari ibadah bagi orang Israel adalah sebagai ucapan syukur kepada Yahweh atas keselamatan anak sulung yang tidak tertimpa tuluh kesepuluh oleh Allah, yaitu kematian anak sulung, yang hanya terjadi bagi orang Mesir saja. Keselamatan anak sulung Israel hanya oleh karena kemuarahan Allah saja, sehingga ucapan syukur dari pemeliharaan tersebut, maka Israel mempersembahkan korban paskah sebagai ibadah. Melalui perlindungan Allah dan persembahan Israel kepada Allah, maka itu disebut sebagai ibadah. Dengan kata lain, ibadah merupakan ucapan syukur kepada Allah atas pemeliharaan dan perlindungan-Nya kepada umat pilihan-Nya.

Setelah keluar dari Mesir Musa mendirikan mezbah bagi Tuhan selama penggembaraan bangsa Israel di Padang Gurun, setelah keluar dari tanah Mesir. Allah juga menyuruh Musa dan seluruh bangsa Israel mendirikan Tabernakel sebagai wujud kerinduan Allah untuk berdiam ditengah-tengah  umat-Nya (Kel. 25:8). Kemah suci dibuat sebagi pusat ibadah dan tempat pertemuan bani Israel dengan Allah. Kemah suci dibangun saat perjalanan di Padang Gurun, kemudian Gilgal (Yosua 4:19; 5:10-11; 9:6; 10:6, 46) setelah berhasil  menyebrangi Sungai Yordan dan menaklukkan Tanah Kanaan. Gilgal hanya tempat sementara untuk pembangunan Kemah suci, sehingga di pindahkan di Silo. Kemah suci Musa adalah kaabah Allah yang menjadi pusat perbaktian orang-orang Israel yang keluar dari Mesir. Kemah suci Musa dibangun sesuai petunjuk Tuhan kepada Musa. Kaabah dibangun dengan persembahan khusus orang Israel, persembahan berupa keahlian (Bezaleel dan Aholiab) dan materi seperti dunia binatang (bulu kambing, domba, kulit lumba-lumba dan kulit lokan) dan persembahan dunia tumbuhan (benang lenan, kayu penaga, minyak, wangian-wangian) dan persembahan dari dunia mineral (emas, perak, tembaga dan permata).

Kemah suci di bangun dengan ukuran khusus dan ditempatkan di tengah-tengah perkemahan bani Israel. Kemah suci dibangun menghadap ke Timur (Kel.38:9-20). Dibangun dengan tiga bagian yaitu pelataran, tempat kudus dan tempat Mahakudus. Didalam kaabah ada dua kegiatan ibadah yaitu ibadah pagi dan petang dan ibadah hari pendamaian atau hari grafirat.

Jadi, ibadah merupakan persekutuan manusia dengan Allah dimana didalamnya terdapat relasi dan keintiman. Ibadah merupakan wujud dari kasih Allah kepada umat-Nya untuk menyatakan diri dan berdiam ditengah-tengah mereka.

Konsep peribadatan dalam PL

Pada awalnya ibadah merupakan persembahan pribadi kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh Kain dan Habel (Kej.4:4). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah merupakan ungkapan batin seseorang yang mengakui bahwa Allah yang berdaulat. Kemudian ibadah berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan (Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah Tabernakel di mana Israel dapat menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan Israel Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36)[9]

Pentingnya ibadah dalam Kitab Perjanjian Lama khususnya kitab keluaran menjelasakan tentang tempat peribadadatan dilakukan yakni di kemah Suci. Allah memberikan petunjuk tentang pendirian Kemah Suci mengajarkan bahwa bangsa Israel dididik Allah untuk beribadah sesuai dengan tata cara yang Allah tetapkan, dan buakn sesuai dengan keinginan bangsa Israel. Kemah Suci harus dibangun, ditata sesuai dengan perintah Allah, karena Allah mempunyai misi pengajaran melaluinya. Melalui ibadah Allah mengajar umat-Nya.[10]

            Ibadah Dalam PL tidak dapat dilepaskan dari karya Pembebasan dan Perjanjian. Ibadah harus didasarkan pada Pembebasan dan Perjanjian. Ibadah yang sejati hanya dapat terwujud dalam kehidupan manusia yang telah dibebaskan oleh Allah dan mengikat Perjanjian dengan Allah. Ibadah dibangun di atas dasar pembebasan dan perjanjian. Ibadah yang sejati itu lahir dari umat yang telah mengalami karya penebusan dan pembebasan Allah. Pembebasan Alah dan penebusan Allah yang memungkinkan setiap umat-Nya beribadah kepada-Nya. Umat Israel tidak hanya mengalami penebusan tetapi juga dituntut untuk hidup dalam komitmen yang totalitas kepada Allah.

Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel. Perkembangan ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor penting dalam kehidupan Nasional Yahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan penting (Disamping tempat ibadah, orang Yahudi juga memiliki kalender tahunan untuk upacara agamawi. Diantaranya yang amat penting adalah : Hari Raya Paskah (Kel. 12:23-27), Hari Raya Perdamaian (Im. 16 : 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi Kel.12:14-20).

Dalam Perjanjian Lama Musa mengmbil peranan penting bagi bangsa Issrael untuk beribadah kepada YHWH yang menjadi satu – satunya figur yang harus disembah. Para penyembah di Israel Kuno melakukan upacara kurban karena kesadaran bahwa adanya keterasingan dari Allah oleh karena dosa dan ketidaktaan. Relasi antara umat Israel dengan Allah harus dipulihkan kembali supaya mendapat hidup sejati dan penuh damai. Hal ini perlu proses pendamaian bagi Allah dengan Umat Israel. Ada beberapa hal yang dilakukan terkait proses pendamain yakni;

·         Pertama, binatang disembelih. Peristiwa ini mengingatkan umat berdosa yang patut dihukum mati, karena kejahatan mengakibatkan kematian, hal itu berarti berpisah dari persekutuan Allah yang tidak dapat membiarkan kejahatan.

·         Kedua, Imam mengambil darah kurban (Mewakili kehidupan orang berdosa yang diserahkan dihadapan Allah) dan membawanya ke mezbah sebagai tindakan pendamaian yakni masalah dosa telah diselesaikan, kemudian Allah dam orang bisa kembali bersekutu.

·         Ketiga, binatang yang sudah disembelih diletakan di atas mezbah di Bait Allah sebagai tanda bahwa orang – orang berdosa yang telah diampuni itu menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah.

·         Keempat, sebagian daging yang masih tersisa dimakan dalam suatu santapan, yang menunjukkan bahwa orang berdosa telah dipulihkan hubungannya bukan hanya dengan Allah tetapi juga dengan orang lain. (Persekutuan dengan manusia dan Allah telah dipulihkan lewat pengurbanan). Jadi, dalam PL upacara pengurbanan merupakan suatu cara simbolis yang memungkinkan orang berdosa dipulihkan hubungannya dengan Allah.[11]

Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang dilaksanakan dalam kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk menyatakan diriNya. Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas dari fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari:

1. Shema’

2. Doa-doa

3. Pembacaan Kitab Suci

4. Penjelasan

Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua kebaktian-kebaktian harian, sabat, perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa, serta pujian dan buku puji-pujian memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan faktor amat penting dalam kehidupan nasional Yahudi.[12][13][14][15]

Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para Imam yang telah dipilih dan ditetapkan. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari raya agama lainnya. Sedangkan ibadah sinagoge terdiri dari Shema, doa, pembacaan Kitab Suci serta penjelasannya. Ibadah juga merupakan suatu kewajiban agama sebagaimana Tuhan perintahkan (Ul. 11:8-11). Namun, pada hakekatnya ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah, tetapi mencakup sebuah pelaksanaan kewajiban agama seperti: sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, taurat dan doa. [16]

Tujuan Umat Israel Melakukan Ibadah

Allah menciptakan manusia dengan tujuan utama yaitu agar manusia memuliakan dan menghormati-Nya dalam kehidupan sehari-hari (Yesaya 43:7). Allah merasa dipermuliakan dan dihormati apabila manusia itu melakukan firman Allah dalam segala aspek kehidupan, baik dalam kehidupan antar sesama manusia maupun antar manusia dengan Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah harus memeteraikan di dalam hatinya bahwa kehidupan yang dijalankan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi juga demi kemuliaan Allah. Yeremia pun mencatat hal tersebut “Aku tahu, ya, Tuhan bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya..(Yeremia 10:23). Demikian juga Paulus mengatakan hal demikian kepada jemaat di Galatia “aku hidup tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah....(Gal. 2:21). [17]

 

Makna Peribadatan dalam PB

            Kata ibadah dalam Perjanjian Baru adalah  λειτουργία  yang memiliki arti adalah pertama, sebagai kegiatan ritual pelayanan seorang imam. Kedua, kegiatan pelayanan umat Kristen. Pelayanan yang dilakukan untuk dipersembahkan kepada Allah. Namun dalam hal ini pelayanan juga bukan hanya merujuk pada pelayanan Bait Suci melainkan pelayanan kepada sesama (Lukas 10:25; Matius 5:23; Yohanes 4:20; Yakobus 1:27). Melalui korban Kristus disalib menggenapi seluruh system persembahan koran dalam ibadah PL, maka dengan hal ini peribadatan yang dilaksanakan tidak perlu ada pencurahan darah lagi (Ibrani 9:1 – 10:18). Melalui sakramen Perjamuan Kudus peribadatan dalam Perjanjian Baru terus menerus diperingati korban Kristus satu kali untuk selamanya (1 Korintus 11:23 – 26).

            Pelaksanaan ibadah dalam PB selalu identic dengan pujian (Kisah 2:46 – 47; 16:25; Roma 15:10 – 11; Ibrani 2:12). Di zaman Para Rasul berdoa terus menerus setelah Yesus naik ke surga (Kisah Para Rasul 1:14) dan doa menjadi bagian tetap dari Ibadah Kristen bersama (Kisah 2:42; 20:36; 1 Tesalonika 5:17). Doa – doa ini biasanya bagi diri sendiri (Kisah Para Rasul 4:24 – 30) atau merupakan doa syafaat demi orang lain (Roma 15:30 – 32; Efesus 5:20; Filipi 4:6; Kolose 3:15, 17; 1 Tesalonika 5:18). Selain itu juga dalam ibadah Perjanjian Baru terdapat pengakuan dosa, Yesus juga mengajarkan dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:12).

            Pembacaan Kita Suci merupakan bagian tetap dari ibadah di sinagoge pada hari sabat (Lukas 4:16; KPR 13:15). Juga orang percaya berkumpul dalam ibadah mendengarkan firman Tuhan (1 Timotius 4:13; Kolose 4:16; 1 Tesalonika 5:27) bersama ddengan ajaran, khotbah dan nasihat berlandaskan pembacaan firman (1 Timotius 4:13; 2 Timotius 4:2; KPR 19:8 – 10; 20:7).

 

Peribadatan Perjanjian Baru (Sinagoge dan gereja)

Pada masa Perjanjian Baru, ibadah bukan lagi hanya pada Bait Suci (Ul. 12:5; 2 Taw. 6:5-6) namun telah dilakukan dibanyak tempat yang disebut Sinagoge. Secara sederhana sinagoge dapat diartikan sebagai tempat beribadah orang Yahudi. Sinagoge berasal dari bahasa Yunani, syn yang berarti bersama dan agoge yang berarti belajar. Pada perkebangannya kemudian mengarah pada kehidupan institusional orang Yahudi dan segala yang berkaitan dengannya, seperti kehidupan sosial, pendidikan dan agama. Namun demikian, bagi agama Yahudi, sinagoge bukanlah bertujuan untuk menggantikan peran Bait Suci tetapi hanya lebih kepada tempat peribadatan ritual bait suci yang diadaptasikan.[18]

Didalam Sinagoge, penyelidikan Taurat menggantikan upacara kurban, rabi menggantikan imam dan kepercayaan kelompok diterapkan pada kehidupan perorangan dan dipimpin oleh seorang kepala rumah ibadat. [19] Kebaktian sinagoge meliputi; pendahuluan yang terdiri dari “deklarasi berkat” pembukaan, pembacaan ritual pengakuan iman Yahudi atau Shema, “dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4, 5) dan dilanjutkan dengan pembacaan doa. Selanjutnya, pembacaan bagian tertentu dari hukum Taurat dan biasanya juga pembacaan satu bagian dari kitab para nabi. setelah pembacaan ini, seseorang akan dipanggil secara sukarela untuk menambahkan tafsiran atau menarik nasihat dari bagian tersebut. Kemudian diakhiri dengan permohonan berkat yang diucapkan oleh seorang imam.[20]

Sinagoge berkaitan erat dengan asal-usul tata cara beribadah gereja atau kekristenan. Pada zaman-Nya, Yesus sendiri menghadiri dan turut terlibat dalam kebaktian sinagoge. Dalam perjalanan penginjilan, Paulus pun menjadikan sinagoge sebagai tujuan pertamanya saat memasuki suatu  kota asing, dan ia mengajar serta bertukar pikiran dengan orang Yahudi maupun umat asing yang berkumpul disitu (Kis. 13:5, 15-43; 14:1; 17:1-3, 10, 17; 18:4, 8; 19:8). Hal ini memungkinkan terserapnya prosedur upacara sinagoge kedalam gereja dan hal inipun terlihat dari kemiripan prosedur upacara gereja hingga batas tertentu dengan sinagoge.[21] Namun demikian, gereja berdiri sendiri dan berbeda dengan Israel. Gereja sendiri mulai berdiri pada Hari Pentakosta. Adapun keberadaan gereja didukung oleh kesimpulan-kesimpulan berikut: (1) Tuhan kita berkata; “Aku akan mendirikan jemaatKu” (Mat. 16:18) dan tidak mengatakan akan terus menambahkan pada sesuatu yang sudah ada, namun baru akan dimulai. (2) Gereja memiliki Kepala setelah Kristus bangkit, sebab gereja tidak mungkin ada sebelum kebangkitan Kristus dari antara orang mati (Ef. 1:20) dan (3) baru beroperasi setelah kenaikan Kristus ke surga (Ef. 4:7-12).[22] Adapun stuktur ibadah dalam gereja mengalami proses adaptasi sesuai dengan denominasi dan doktrin gereja tersebut. Secara  umum ibadah gereja diselenggarakan dengan; pendahuluan doa, pujian penyembahan, pembacaan Firman dan atau kotbah, lalu doa berkat sebagai penutup ibadah.[23]

Ibadah merupakan penyembahan dan untuk memuliakan Allah, baik dalam suatu komunitas maupun secara individual.  Ibadah bukanlah sekadar rutinitas yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan jadwal program yang ada atau melaksanakan suatu pertunjukkan rohani.[24] Didalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus memakai istilah ibadah yang secara langsung maupun tidak langsung merujuk kepada pertemuan jemaat. Pertama,  merujuk kepada ibadah di perjanjian Lama (Rm. 9:4) dan juga kepada kehidupan orang percaya Perjanjian Baru (Rm. 12:2).[25] Selain itu, ia juga menguraikan unsur-unsur ibadah yang mencakup setiap aspek kehidupan dan iman, seperti; tidak menjadi serupa dengan dunia, pembaharuan budi, pembedaan yang baik dari yang jahat, yang merupakan apa yang dikenan dan dikehendaki Allah (Rm. 12:2).[26]

Ibadah didasarkan pada pribadi, sebagai mana adanya Allah dan apa yang telah Ia lakukan (Rm. 8:32). Yang pada gilirannya, seperti yang disimpulkan Letham “dari Bapa melalui Anak oleh Roh Kudus”. Dimana Allah yang telah bekerja dalam sejarah sebagai sejarah Penebusan dari Allah bagi umatNya (Gal. 4:4-6).[27] Dalam tulisannya, Dasar-dasar iman Kristen, James M. Boice, memberikan beberapa prinsip-prinsip tentang suatu penyembahan menurut Alkitab:[28]

-          Penyembahan didikehendaki oleh Allah (Yoh. 4:23)

-          Hanya Allah yang boleh disembah (20:3-5)

-          Penyembahan adalah tanda dari iman yang menyelamatkan (Flp. 3:3)

-          Penyembahan adalah aktivitas korporat (Why. 5:13-14)

-          Allah tidak berkenan akan semua penyembahan (Mrk. 7:6-7)

Penyembahan yang  benar dan dikehendaki Allah adalah yang secara actual dari     manusia.

 

Relevansi Ibadah Masa Kini

            Ibadah yang dilakukan oleh orang percaya  masa kini beorientasi pada pribadi Yesus sebagai wujud Allah yang disembah. Allah harus menjadi tujuan dari ibadah itu sendiri, serta penyembahan diarahkan kepada Allah bukan untuk diri sendiri. Ibadah pada masa sekarang jemaat berkumpul di suatu tempat (gedung gereja) pada setiap hari minggu. Jemaat harus bersama-sama mangaku bahwa Yesus adalah Tuhan. Ibadah yang dilakukan masa kini terdapat pujian, doa, penyembahan dan firman Tuhan. 

            Ibadah harus dipahami sebagai sarana yang membawa kepada pemulihan relasi dengan Allah, pengharapan masa kini (di dunia) dan masa yang akan dating (kekekalan). Jadi, ibadah yang dilakukan oleh orang percaya masa kini berfokus pada Allah dan tidak dipengaruhi oleh situasi, dan kondisi yang dialami oleh orang percaya. 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ibadah dalam PL adalah sebagai persekutuan dengan Allah di dalam ketaatan kepada kehendak Allah dan sebagai ucapan syukur, rasa hormat atas karya pembebasan umat Tuhan. Ibadah dalam PB adalah sebagai penyembahan untuk memuliakan Allah, baik dalam suatu komunitas maupun secara individual. Sehingga Ibadah bukan hanya sekedar rutinitas yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan hukum seremonial melainkan karena memiliki pemahaman, motivasi yang benar dalam menyembah Allah.

Jadi, ibadah dalam PL dan PB memiliki makna/tujuan yang sama, berfokus kepada  Allah dengan berelasi dan memuliakan Allah. Namun Ibadah yang pertama (PL) bersifat terikat dengan hukum seremonial, sedangkan Ibadah yang kedua (PB) bersifat “bebas” dengan beradaptasi pada budaya sekitar pada batas tertentu dan lebih menekankan makna/tujuan ibadah itu sendiri.

 

 

 



[1] H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, (Worship in ancient Israel), Gunung Mulia, 2004, halaman 3.

[2] Daniel Yudianto, Becoming A True Worshipper, (Menggali makna, merenungkan, memaknai, dan mewujudnyatakan ibadah yang sejati dalam keseharian. Yogyakarta,ANDI, 2005, hlm. 1.

[3] Ibid., 1

[4] New Dictionary of Theology: Jilid 3 (Malang: SAAT, 2015). Hlm. 330

[5] Surya Adhy Kusuma, Makna Sebuah Gereja, Ibadah, dan Iman Kristiani (Yogyakarta: Gereja Bethany, 2005) hlm 23

[6] Lucyana Henny, Konsep Ibadah yang benar dalam Alkitab, Jurnal Teologi, Misiologi dan Pendidikan, Volume 4. No. 1, Juni 2020, halaman 74.

[7] https://kbbi.web.id/ibadah. online, Internet, Accessed Oct. 11, 2021

[8] Kutipan bibleworks, ±ebed. Slave, servant. The form appears 799 times in the OT.

 

[9] Paul Erns, The moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi (Malang: Literatur SAAT, 2006), halaman 65.

[10] Sia kok sin, Konsep teologi tentang ibadah dalam kitab Keluaran, Jurnal Theologia Aletheia, Volume 5 No. 8 Maret 2003 halaman 7.

[11] Ibid 6,  halaman 79

[12] Ray C Stedman, Petualangan Mempelajari Perjanjian Lama dari Tulisan Asli (Jakarta: duta Harapan Dunia, 2010), 87

[13] Samuel J Schultz, the Old Testament Speaks (Wheaton: Illionis Publishing ) 16

[14] A. Cronbach, Whorship ini Old Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible.(Nashville, Abingdon Press) 879

[15] Paul Basden, The Whoship Mase, Downers Grove (Illionis Inter-Varsity Press, 1999) 17.

[16] James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 9.

[17] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4 (Jakarta: BPK Gunung Msulia, 2009) 25.

[18] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1, September 2020; 49-50. 

[19] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru  (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 114

[20] H. E. Dana, The New Testament World: politik, ekonomi, social-budaya & agama di zaman Perjanjian baru (Malang: Gandum Mas, 2016). Hlm. 84

[21] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru  (Malang: Gandum Mas, 2017). Hlm. 115

[22] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 2 (Yogyakarta: Andi, 2010). Hlm. 191-192

[23] Stanley Santoso, Sinagoge pada Masa Intertestamental dan relevansinya dengan gereja masa sekarang, Berita Hidup Vol. 33, No 1, September 2020; 63. 

[24] Howard F. Sugden, Warren W. Wiersbe, Jawaban atas masalah Penggembalaan (Malang: Gandum Mas, 2009). Hlm. 83

[25] Herman Ridderbos, Paulus: pemikiran utama theologinya (Surabaya: Momentum, 2008). Hlm. 509

[26] French L. Arirington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta (Yogyakarta: ANDI, 2020). Hlm. 519

[27] Robert Letham, Allah Trinitas, (Surabaya: Momentum, 2014). Hlm. 433

[28] James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen (Surabaya: Momentum, 2018). 678-679

Post a Comment

0 Comments