PENDAHULUAN
1.1.1.Latar Belakang
Nabi-nabi
Israel banyak ditemukan dalam Alkitab, terlebih banyak di dalam Perjanjian
Lama. Nabi-nabi Isareal di kisahkan dalam Perjanjian Lama menempati ruang
istimewa dalam sejarah kekristenan, bahkan sejarah kenabian agama Samawi
lainnya, seperti Yahudi dan Islam. Keistimewaan para nabi terletak pada status
terpilihnya oleh Tuhan dan panggilan khusus yang diberikan oleh Tuhan.
Kata
nabi dalam tradisi Kristen di yakini berasal dari bahasa Ibrani “Navi”
yang berarti orang yang mewartakan pesan yang diterima dari Roh Ilahi. Seorang nabi, dalam Perjanjian
Lama disebut “Mulut” Yahweh karena mengumumkan pesan kepada manusia apa yang
dipesankan oleh Tuhan.[1] Kata
nabi juga sering disebut juga dengan “mengangkat”, “menunjuk”, atau
“memanggil”.[2] Kata nabi apabila dipakai
dalam bentuk pasif secara teologis etimologis bermakna orang yang dipanggil dan
diutus oleh Tuhan dengan suatu tugas tertentu, secara teologis nabi adalah
orang yang berbicara atas nama Tuhan.
Pada Perjanjian Lama salah satu Kitab yang sangat
mengandung berbagai penafsiran yang pemakaian gambaran pornografi sesuai yang
tertulis dalam teks tersebut. Kitab ini disebut sebagai kitab seorang nabi kecil
atau pengaruhnnya tidak tercatat sebagai Kitab yang memberi pengaruh secara
luas. Kitab Hosea mengandung penggambaran pornografi sebagai metafora bagi
orang-orang yang bersalah juga telah menimbulkan perbedaan pendapat di antara
para penafsir. Para ahli dari berbagai zaman telah berusaha mengatasi
persoalan-persoalan yang demikian.
Dengan menghubungkan teks dengan situasi-situasi
sejarah, metafora dalam Kitab Hosea dijelaskan sebagai gambaran akan sesuatu
realiita sejarah, yaitu para pemimpin Israel dan Yehuda, yang dianggap tidak
benar. Menurut penafsiran ini, pemakaian gambaran-gambaran seksual tidak harus
mengganggu para pembaca karena hal tersebut hanya digunakan sebagai sebuah
kritik yang keras terhadap para pemimpin yang dianggap telah menyebabkan
kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi para penafsir feminis tidak setuju
dengan argumentasi tersebut. Dalam perspektif para pembaca tugas seorang penafsir adalah menguak ideology yang membuat
pemakaian metafora yang merendahkan perempuan sundal itu sebagai hal yang
biasa. Kritik para feminis tersebut membuka mata para pembaca dan juga penafsir
yang lain tentang bagaimana ideology sangat berperan dalam pembuatan Kitab
Hosea. Kisah Hosea dan Gomer tidak dapat dianggap sebagai hal yang biasa.
Pandangan yang ada dalam Kitab Hosea memperlihatkan sikap misoginis yang perlu
dikritik. Tetapi, saat mengemukakan kritik terhadap pandangan yang tidak
seimbang secara gender dari Kitab Hosea, para penafsir feminis justru melupakan
tujuan utama dari metafora yang digunakan oleh kitab itu. Tulisan ini hendak
memperlihatkan bahwa metafora tersebut bertujuan sebuah keadaan sosial-politik
yang kacau. Kekacaun ini kemudian diletakkan penyebabnya di atas pundak
orang-orang yang bersebrangan pandangan dalam pandangan dengan penulis Kitab
Hosea. Sembari melontarkan kesalahan pada para lawan, Kitab Hosea juga
mendesakkan sebuah model masyarakat
impian yang ideal.
Dalam pembahasan ini, maka haruslah perlu dipahami
berbagai banyak hal , sesuai dengan konteks nabi Hosea ini, maka yang harus
dilakukan bagaimana merelevansikan dari sudut pandangan kenabiannya untuk
diterapkan pada kehidupan seorang hamba Tuhan atau Gembala yang dipercayakan
Tuhan untuk memimpin Jemaat Tuhan.
Kitab Hosea merupakan Kitab yang sangat kontroversial,
yang menceritakan tentang Gomer, seorang perempuan sundal yang dikawinni oleh
Hosea (Hosea 1:2), dikawini oleh seorang nabi atas perintah Tuhan. Perkawinan
dengan perempuan sundal bagi seorang nabi seperti Hosea terlihat sangat kurang
baik dalam perspektif para pendengar dan pembaca. Tetapi karena Tuhan yang
memerintahkannya maka hal tersebut tidak menjadi masalah dan sah dihadapan
Tuhan. Keabsahan perkawinan ini bukan tanpa masalah. Para penafsir sepanjang
zaman berdebat tentang perkawinan tersebut hanyalah sebuah simbol saja. [3]
Dalam hal ini, ketidaksetiaan Gomer menyimbolkan
ketidaksetiaan Israel. Maka, tidak masalah jika Hosea harus mengawini Gomer
yang seperti itu karena tujuannya adalah untuk menggambarkan hubungan Tuhan dan
Israel yang tidak setia. Tetapi para
penafsir, feminis tidak setuju dengan pandangan tersebut. Masalah utama yang
menjadi sasaran kritik para penafsir adalah pemakaian perempuan sebagai simbol
perbuatan yang tidak baik. Pertanyaan yang bisa ditimbulkan yaitu mengapa Tuhan harus memakai perempuan sebagai simbol
umat yang tidak setia? Selain itu juga penafsir feminis juga mempersoalkan
pandangan yang negative tentang Gomer. Meskipun Gomer itu sundal, mengapa
kesundalannya harus dipandang negative? Bahkan ada yang memuji-muji tokoh Gomer
karena di tengah budaya yang merendahkan perempuan, dia berani untuk menyatakan
kehendaknya. [4]
Pandangan ini Kitab Hosea adalah berfokus kepada
ketidaksetiaan sosial yang kemudian menjadi
sasaran kritiknya. Krtitik terhadap Gomer merupakan kritik kepada bangsa
Israel yang sedang mengalami kritik ketidakadilan sosial.
PEMBAHASAN
2.1.1. Sejarah Nabi Hosea
Nabi
Hosea merupakan seorang Nabi dari Israel Utara yang hidup sezaman dengan Amos.
Hosea memiliki Istri bernama Gomer dan memiliki anak yaitu; Yizreel (Hosea 1:3), Lo – Ruhama
(Hosea 1: 6), dan Lo – Ami (Hosea 1: 9). Pembukaan Kitab Hosea memberikan
indikasi waktu kapan Nabi Hosea bekerja. Hosea 1:1 menyebutkan bahwa Hosea
bekerja pada zaman pemerintahan raja-raja Yehuda, yaitu: Uzia (783-742 S.Z.B.),
Yotam (742-735 S.Z.B.), Ahas (735-715 S.Z.B.), Hizkia (715-687 S.Z.B.) dan juga
pada zaman Raja Yerobeam bin Yoas atau Yerobeam II (786-746). Pada masa itu
terjadi sebuah peperangan Siro – Efraimi di mana Yehuda di bawah kepemimpinan
Ahas menolak untuk bekerja sama dengan Israel dan Siria dalam melawan Asyur.
Penolakan itu berbuah penyerangan oleh Israel (yang juga dinamai Efraim)
bersama Siria ke Yehuda. Pada masa yang sulit bagi Yehuda itu, orang Filistin
dan Edom mengambil kesempatan untuk ikut menyerang Yehuda. Dalam keadaan
terdesak, Ahas meminta bantuan Asyur yang akhirnya menyerang Israel dan Siria.
Kitab Hosea pada umumnya mencerminkan keadaan yang kacau itu. Di dalam 2
Raja-raja 15 dikisahkan masa-masa di mana Israel bergantian raja karena perebutan
kekuasaan dan hubungan dengan Asyur yang terkadang diwarnai dengan
pemberontakkan. Pada akhirnya Asyur menguasai Israel dan menaklukkan Samaria,
serta mendeportasi penduduknya pada tahun 722 S.Z.B. (Limburg, 1988:7).[5]
Hosea
memiliki kemiripan dengan Amos. Keduanya bekerja di Israel (setidaknya pada
masa Sang Nabi) dan melontarkan kritik atas ketimpangan-ketimpangan sosial yang
terjadi pada masyarakat yang erat dengan amoralitas penguasa. Dalam Hosea 7: 11
berisi tentang kritik terhadap pilihan penguasa Israel (kemungkinan Raja Hosea)
yang memberontak terhadap Asyur dengan cara meminta bantuan pada Mesir. Bagi
Hosea seharusnya Israel tunduk saja pada Asyur. Perbedaan pandangan politik
tersebut membuat Hosea sangat kritis terhadap Israel. Kenyataan sejarah
membuktikan bahwa pada akhirnya Israel hancur karena tidak sanggup melawan
Asyur. Mesir yang diharapkan dapat menjadi pelindung, ternyata tidak mampu
berbuat apa-apa. Kejatuhan Israel ini memperkuat penerimaan terhadap pesan
kenabian Hosea. Kritiknya kepada penguasa Israel mendapatkan legitimasi
sejarah. Sehingga ketika Hosea mengaitkan kritiknya dengan penyimpangan
peribadahan, pandangan ini pun dengan mudah dapat diterima. Kehancuran Israel
menjadi sebuah tragedi yang merupakan
akibat dari penyimpangan agama. [6]
Dalam
kitab-kitab kenabian lainnya dari Perjanjian Lama, Kitab Hosea mengalami
beberapa tahap pengeditan, yang juga rekontekstualisasi. Jadi Kitab yang ada
sekarang ini bukan semua berasal dari Hosea abad Ke-8 S.Z.B. Penyebutan nama
raja-raja Yehuda yang lebih lengkap ketimbang raja Israel di Hosea 1:1
memperlihatkan bahwa pengetahuan penulis Kitab Hosea tentang raja-raja Israel
kurang lengkap atau memang soal kerajaan Israel dipandang hanya sebagian.
Asal usul
Kenabian di Israel
Seorang
Nabi Allah yakni di Bangsa Israel dimulai oleh Musa (Ulangan 18:9-22). Dia
mendeklarasikan dalam bagian ini bahwa institusi nabi-nabi muncul sebagai
lembaga (melalui orang-orang) yang mendeklarasikan berita-berita tentang Allah.
Sesudah kematian Musa, pemimpin yang memimpin 40 tahun, yang berbicara dengan
Allah secara langsung dan menerima penyataan yang diberikan kepada Bangsa
Israel dicobai untuk mengambil metode-metode nujum yang dipakai oleh tetangga
Bangsa itu sendiri.
Seorang
Nabi yang memimpin dan dipilih oleh Allah langsung untuk memimpin Bangsa Israel
untuk menggenapi janji Tuhan, memiliki kriteria dan persyaratan yang Tuhan
tentukan bagi Bangsa Israel yakni:
1.
Seorang Nabi
harus berasal dari keturunan Bangsa Israel itu sendiri.
2.
Seorang Nabi dipanggil
Allah.
3.
Seorang Nabi
harus dikuasai oleh Roh Allah.
4.
Seorang Nabi
yang melayani sebagai juru bicara Allah.
5.
Seorang Nabi
yang menerima otoritas dan penyataan dari Allah.
6.
Seorang Nabi
harus menjadi gembala atau pemimpin yang baik atas bawahanya/domba-domba Allah.
7.
Seorang Nabi
harus mendemonstrasikan firman Allah dan misiNya melalui tanda.[7]
Perbedaan Nabi
Sejati dan Nabi-Nabi Palsu
Dalam
membedakan Nabi-nabi Allah dan yang bukan Nabi Allah agak sulit untuk
membedakannya, Israel tetap merasa kesulitan dalam hal ini. Kategori dan ciri
khas dari seorang Nabi yang tidak berasal dari Allah cenderung untuk
menyesatkan umat Allah (Ulangan 13:2; 18:20;Yeremia 2:8; 23:27), apabila moral
mereka rendah (Yeremia 23:14), atau apabila mereka mempraktikkan sihir dan
nujum (Yesaya 8:19; Yeremia 14:14).
Nabi-nabi palsu adalah bagian dari lembaga
nabi-nabi “professional” yang diterima secara sosial dan religious yang
merespon kebutuhan zaman mereka. Bertindak di dalam perspektif yang terbatas
dari orang-orang sezaman. Realpolitik dan vox populi, nabi semacam ini
mendorong umat dengan memberikan solusi-solusi konkret di saat krisis dan
memberikan kata-kata hiburan menurut pengertian mereka sendiri tentang Firman
Allah.
Nabi-nabi
seperti itu tidak menyadari bahwa lewat tindakan seperti itu telah menimbulkan
ancaman kepada nabi-nabi Allah dan juga telah membohongi umat Allah. Nabi-nabi
ini adalah “Palsu”, namun umat Allah harus bisa membedakan antara yang sejati
dan nabi palsu antara penyataan “Lama” dan penyataan “Baru” dan antara klaim
Allah dengan klaim tandingan.
Nabi-nabi
sejati mempunyai berita yang relevan dalam situasi krisis. Semua yang
disampaikannya sering tidak disenangi orang-orang sezamannya dan dilawan oleh
nabi-nabi palsu yang suka menggelitik telinga umat dengan berita pengharapan
mereka (Yeh. 13:10). Nabi Yehezkiel menyamakan nabi-nabi ini dengan kapur putih
karena mereka tidak menggambarkan situasi sebagaimana adanya, melainkan sekedar
mencoba membuatnya tampak lebih baik. di bawah ini perbedaan yang secara
spesifik dari kedua golongan nabi ini yakni:[8]
Perbedaan Nabi Allah dan Nabi-nabi
Palsu |
||
No |
Nabi Allah |
Nabi Palsu |
1. |
Fondasi:
Penyataan |
Penyataan dan
religi |
2. |
Pemberitaan
holistis |
Pemberitaan
selektif |
3. |
Independensi
terhadap struktur kekuasaan |
Dependensi
pada struktur kekuasaan: Realpolitik |
4. |
Anggota
lembaga Ilahi dan sosial |
Anggota
lembaga sosial |
5. |
Visi reaitas
Kerajaan Allah |
Penjaga status
quo |
6. |
Etika berpusat
pada Allah |
Etika berpusat
pada manusia |
7. |
Menderita demi
Allah |
Popularitas
dan kekuasaan |
Penafsiran mengenai Kitab Hosea ini memiliki makna
di dalamnya yaitu:
Ciri-ciri dari kehidupan Masyarakat pada masa
kepemimpinan Hosea
1.
Hidup cukup
Dalam ayat 2:8 dan 10:1 “mengindikasikan
kesejahteraan yang baik melalui hasil panen yang melimpah dan kekayaan yang
diperoleh dari keberhasilan panen itu. Dalam kelimpahan mereka Hosea melihat
tampaknya kesuksesan materi tidak berjalan seiring sejalan dengan kesuksesan
moral. Kesuksesan materi tersebut justru bukti dari keserakahan. Keserakahan
tersebut membuat mereka melupakan Tuhan. Pada hal ada sebuah ketidakbenaran
dengan melupakan Tuhan, sebagai sumber dari kesuksesan materi tersebut. Sebagai
hukuman dari dilupakannya Tuhan pasal 2:13, menyebutkan tentang pembalikan
keadaan dari sejahtera ke keadaan seperti di padang gurun. Situasi di padang
gurun ini juga dialami bangsa Israel dan Yehuda pada saat pembuangan ke Asyur
dan Babel. Tetapi padang gurun sekaligus mengajar agar umat hidup cukup, tidak
berlebihan, namun juga tidak kekurangan. Oleh karena itu, yang dimaksudkan oleh
Hosea adalah padang gurun itu lebih baik daripada hidup berkelimpahan.[9]
2.
Hanya Tuhan
Pasal 2:15 dengan gamblang menunjukkan sikap anti
terhadap pencampuran sesembahan. Harapan yang dikehendaki Allah adalah agar
umatNya hanya menyembah Tuhan saja. Ketika Bangsa itu berada dalam pembuangan
di Babel mempunyai impian tentang kembalinya Kerajaan Israel seperti pada masa
Daud. Tuhan yang dikenal sebagai Allah nasional dipromosikan menjadi
satu-satunya Allah bagi orang Yehuda/Israel. Penyatuan Allah menjadi jalan
untuk menyatukan sebuah bangsa.
3.
Nasionalitis
Berkaitan dengan penyatuan agama juga disebutkan
sebagai penyatuan bangsa yang etnosentrisme dan bahkan xenophobia. Hosea
melontarkan kritik pedas pada kenyataan membaurnya orang Israel dengan
bangsa-bangsa lain (ayat 7:8). Pembauran yang entah dilakukan di tanah Israel
sendiri maupun di tanah asing (diaspora) merupakan bentuk pengaburan etnis yang
sangat tidak diperkenankan oleh Hosea.
Dalam konteks politik, ketik Israel berada di bawah
ancaman bangsa lain pilihan untuk meminta bantuan asing juga dikritik oleh
Hosea. Pasal 7:11 menyebutkan permintaan bantuan kepada bangsa-bangsa asing
(Mesir dan Asyur) merupakan tindakan yang terlalu tidak memikirkan. Politik
pada umumnya, pilihan untuk menjadikan Asyur sebagai perlindungan. Tetapi
ternyata resikonya lebih kecil ketimbang memilih berhadap-hadapan dengan Asyur.
Terbukti ketika raja Hosea memilih untuk melawan Asyur, Israel akhirnya kalah
dan dihancurkan oleh Asyur.
Berdasarkan sikapnya yang nasionalitis itu, Hosea
membayangkan sebuah komunitas yang
terdiri dari orang-orang yang jelas dan murni identitas kebangsaannya.
Komunitas tersebut tidak dicemari oleh perkawinan atau bahkan mungkin pergaulan
dengan orang asing sekalipun. Tetapi agar komunitas semacam itu dapat
diwujudkan maka diperlukan sebuah kepercayaan diri yang besar. Bahaya dari
pandangan semacamn ini sudah sangat dikenal sehubungan dengan maraknya
konflik-konflik antar kelompok etnis dan agama.
4.
Solidaritas Sosial
Sebuah komunitas ideal yang dilakukan itu tidak
cukup dibangun hanya dengan membuat dari liyan. Komunitas tersebut dilandasi di
atas landasan moral. Pasal 4:2 mendaftarkan perbuatan-perbuatan moral yang
tidak diperkenan, seperti mengutuk, berbohong, mencuri dll. Bunyi ayat ini
menggemakan ketentuan Dasa Titah, terutama titah-titah yang mengatur relasi
sosial. Dari catatan sejarah ada dijelaskan mengenai menjelang kehancuran
Israel, kondisi masyarakat di negara itu diwarnai dengan kekacauan. Tetapi
keadaan yang buruk itu dikritik oleh Hosea dengan maksud agar tidak diulangi
dalam masyarakat yang hendak dicapai.
5.
Pemimpin Agaman yang Tulus dan Tidak Materialistis
Kesalehan ritual yang dikritk Hosea. Para pemimpin
agama yang menjadi sasaran kecaman. Pasal 4:4 menunjukkan para imam yang tidak
bonafide. Para pemimpin tidak layak dijadikan sebagai tempat berkonsultasi
tentang kebenaran sebab kekeliruan yang dilakukan oleh pemimpin itu sendiri.
Pasal 6:9 menyebutkan bahwa para imam itu kurang menghargai kesucian
pernikahan. Yang menarik adalah ditengah-tengah kecaman-kecaman terhadap para
pemimpin agama tersebut terdapat golongan rohaniawan yang diperkecualikan
yaitu, nabi. Para nabi di Israel biasanya bekerja di Istana. Hosea adalah salah
satu nabi yang kritis terhadap istana. Dia juga tidak segan-segan menngecam
para imam yang korup. Sikapnya tersebut membuat dia dimusuhi. Tetapi justru
karena menolak mendengarkan Hosea maka Israel jatuh. Kejatuhan Israel adalah
akibat perlawanan terhadapa para nabi. [10]
Metafora Tentang
Kekacauan Sosial
Kitab
Hosea ini menyajiikan sebuah bentuk masyarakat impian yang berangkat dari
kritik terhadap masyarakat yang ada, baik di Israel maupun Yehuda. Masyarakt
utopis itu merupakan kebalikan dari masyarakt yang nyata. Harus dimengerti
bahwa masyarakat impian itu tidak pernah ada, tetapi sebagai sebuah utopia,
masyarkat yang diidam-idamkan itu tetap diperlukan, setidaknya untuk menjadi
standar penilaian terhadap masyarakat yang ada. Meskipun demikian, pengenaan
standar tersebut di luar konteks historis Israel. Dari penjelasan di atas
memperlihatkan perbedaan yang cukup besar antara penafsiran Kitab Hosea dari
kacamata feminis dengan penafsiran yang menitikberatkan penggunaan metafora
sebagai upaya untuk merekonstruksi masyarakat impian, Hosea lah yang menjadi
penyusun konsepsi sebuah masyarakat ideal. [11]
Sebuah
penempatan penafsiran Kitab Hosea menurut James Trotter menempatkan Kitab Hosea
pada konteks historis masa Persia. Kondisi Yehuda di masa itu penuh dengan
gejolak.Masa yang menentukan bagi pembentukan Yudaisme, Yehuda merupakan tempat
dimana kelompok-kelompok yang berbeda pandangan teologis dan politik berebut
pengaruh. Kaum hagolah yang pulan dari pembuangan, berusaha mati-matian untuk
mempromosikan kehidupan sosial keagamaan yang diatur secara ketat. Bila Kitab
Hosea dipahami dalam konteks polemik mengenai agama dan politik yang benar,
maka akan memiliki pemahaman bahwa pemakaian metafora perempuan yang
berperilaku seksualnya berlebihan. Gomer adalah gambaran dari kelompok bukan
hagolah yang bagi kaum hagolah sudah sangat sinkretistis dan tidak jelas
identitasnya. [12]
Relevansi Bagi
Kepemimpian masa Kini
A. Spritualitas
Tingkat kerohanian atau
relasi Hosea dengan Tuhan sangat terlihat jelas dengan memberikan pengkultusan
tentang siapa yang dipuja dan disembah. Alasannya mengungkapkan hal ini karena
bangsa Israel melakukan peribadatan kepada Baal, dewa kesuburan di nilainya
sebagai penyimpangan dan dosa. Israel melakukan itu semua dengan keinginan
mereka sendiri serta menduakan Tuhan dalam hidup mereka. Ibadah yang dilakukan
tidak dialamatkan kepada Tuhan. Hosea menegaskan bahwa hanya dari Tuhanlah
datang kesuburan (Pasal 2:5, 8-9). Kurban-kurban persembahan Israel
digolongkannya sebagai hal yang sia-sia, karena dipersembahkan kepada ilah
lain. Hosea menunjukkan sikap yang menolak dan menentang, semua yang mereka
lakukan tidak mengungkapkan kehendak dan firman Allah (Pasal 4:12). Untuk itu bagi pemimpin atau gembala masa kini
mestinya harus memiliki ciri-ciri sebagai gembala tau pemimpin yakni:
·
Harus mengenal
dan keterikatannya pada hubungan atau relasi dengan Tuhan dan juga umat Tuhan
yang harus dipimpin.
·
Memiliki
pembinaan rohani dari para senioritas dan tidak menganggap diri sudah hebat,
dan benar, tetapi itu semua berlandaskan kepada suatu kebenaran yang sejati.
·
Dalam melakukan
dan menjalankan kehendak Tuhan, harus mengambil resiko dan tanggunngjawab,
mungkin pandangan orang lain itu hal yang memalukan namun apbila pada posisi
yang benar jangan pernah mundur dan menyesalinya.
·
Berani
menyatakan kebenaran firman Tuhan untuk menyatakan kesalahan dan menegur supaya
hidup selalu terarah pada tujuan kebenaran itu sendiri.
B.
Memberikan
Ajaran yang benar
Bangsa Israel melakukan
penyembahan berhala kepada ilah lain.
Maka tugas Hosea menegakkan kebenaran bahwa hanya Penyembahan kepada Allah
adalah satu-satunya cara yang benar sebagai sambutan dan jawaban atas
perkenalan diri yang TUHAN sendiri lakukan , selain dari pada yang TUHAN telah
nyatakan maka itu adalah penyimpangan atau dosa dihadapan Tuhan. Ada tujuan
Hosea mengatakan hal yang seperti itu
untuk menegur dengan menyoroti kehidupan Israel yang kompromistis dan korup
yaitu:
·
Struktur
kehidupan agamaniah yang harus diakhiri dan tidak ditujukan kepada Tuhan.
·
Harus menegur
secara terang-terangan ketika jemaat melakukan penyimpangan-penyimpangan atau
jauh dari pada Tuhan.
·
Memberikan
pemahaman bahwa persembahan yang dilakukan kepada Tuhan tidak bersifat
rutinitas dan hanya karena aturan melainkan dijalankan dengan sebuah kesadaran
yang menjadi sebuah gaya hidup.
·
Fokus pada
ajaran yang mendominasi sebuah doktrin dan tidak mengutamakan hal yang lain yang ditekankan
melainkan harus sesuai dengan dasar dan
satandar benaran yang sudah dinyatakan.
C.
Pengakuan atas
keutamaan Tuhan
Bahwa
hanyalah Dia dalam atas segala aspek kehidupan, bisa sebagai pencipta, sejarah,
politik, persoalan-persoalan internasional, hubungan-hubungan sosial ataupun
kegiatan-kegiatan agamaniah. Segala kegiatan dan kebutuhan manusia berada
dibawah pengawasanNya. Allah memiliki kedudukan yang sentral dalam kehidupan
umatNya. Allah yang Esa yang telah memperkenalkan diri kepada umat sebagai
Tuhan atas sejarah, kesuburan , politik dalam kehidupan umatNya. Sama seperti
yang dilakukan dan dikatakan langsung oleh Hosea ialah sumber kesuburan yang
benar adalah TUHAN yang harus disembah umat.
PENUTUP
3.1.1 Kesimpulan
Dalam
Kitab Hosea ini perlu dipelajari bagaimana kehidupannya dihadapan Tuhan yang
senantiasa memberikan sebuah perubahan walaupun dalam pandangan orang terhadap
hidupnya yang secara orang normal tidak mau ketika menikahi seorang perempuan
sundal atas perintah Tuhan langsung kepadanya. Perlu diketahui bahwa Gambaran
dari istri Hosea yang bernama Gomer adalah sebuah metafora kehidupan bangsa
Israel yang melakukan persundalan terhadap ilah lain atau Baal. Namun ketika
Tuhan memberi perintah kepada Hosea ia tidak menolak meskipun itu hal yang
memalukan, karena ia tahu maksud Tuhan dalam menikahi perempuan itu bahwa itu
menggambarkan kehidupan bangsa Israel yang tidak setia namun lewat kehidupan
Hosea tersebut sama seperti itulah yang dilakukan Allah kepada bangsa Israel
yang tidak menolak dan selalu setia
kepada bangsa itu. Hosea juga termasuk orang yang memiliki integritas
hidup dalam kepemimpinannya. Hosea dengan terang-terangan untuk melawan
pemimpin-pemimpin yang lama dalam bangsa itu yang sudah melakukan
penyimpangan-penyimpangan untuk bantah diberikan ajaran yang sehat. Hosea
mengungkapkan kesalahan dan dosa yang pemimpin bangsa lakukan terhadap Allah.
Kisah
kepemimpinan Hosea selama memimpin sangat relevan bagi kehidupan pemimpin
jemaat masa kini. Sebuah pemimpin mungkin ada sebuah latar belakang dan juga
kehidupan yang mungkin harus ditolak, namun ketika memiliki visi dan misi yang
jelas sesuai dengan panggilan Tuhan, maka hal itu menjadi sebuah peluang untuk
menjadi pemimpin yang handal. Untuk mengadakan sebuah perubahan atau reformasi
dalam kehidupan yang dipimpin harus berani menorobos serta menanggung resiko
yang mungkin datang dari dalam pemimpin itu sendiri dan juga dari orang-orang
luar. Sebagai pemimpin yang berintergitas sama seperti Hosea yang juga berani
menentang kebiasaan dan penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan umat Tuhan.
Intergritas itu terwujud ketika seorang pemimpin memulai dan mengatakan saatnya
telah tiba.
3.3.1 Daftar Rujukan
Gerhard
Kittel dan Gerhard Friedrich, Trans, Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testamen, Vol. VI (Michigan, Grand Rapids:
WM.B.Eerdmans Publishing Company, 1995), hal. 781
Leon J.
Wood, Nabi-Nabi Israel, The Prophets of
Israel, (Malang: Gandum Mas, 2005), hal 83
Fontaine,
Corole, “Hosea” A Feminist Companion to the Latter Prophets, Sheffield:
Academic Press 1995
Hornsby,
Teresa J. 1999. “Israel Has Become A Worthless Thing: Re-reading Gomer In Hosea
1-3”, dalam Journal for the Study of the Old Testament, 82
Haddox,
Susan. 2006. “(E)Masculinity in Hosea’s Political Rhetoric”, dalam Israel’s
Prophets and Israel’s Past, Brad E. Kelle dan Megan Bishop Moore (eds.), New
York-London: T&T Clark.
Tobing
Evendy, Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama, (Malang: Steviera Literatur, 2019) hal
5-11.
Willem A.
Vangemeren, Penginterpretasian Kitab para Nabi, (Surabaya: Momentum, 2011) hal.
51-55.
Limburg,
James. 1988. Hosea–Micah, Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and
Preaching, Atlanta: John Knox Press.
Sthephen
Cook “memperhatikan bahwa Hosea sebenarnya berasal dari kelompok imam juga.
Jadi yang terjadi adalah pertentangan antar-imam. Kelompok Hosea adalah imam
Yahweisme (Cook, 1999).
Kelle,
Brad, Hosea 2, Metaphor and Rhetoric in Historical Perspective, Atlanta: SBL,
2005
Kelle,
Brad. 2005. Hosea 2, Metaphor and Rhetoric in Historical Perspective, Atlanta:
SBL
[1]
Gerhard Kittel dan Gerhard Friedrich, Trans, Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testamen, Vol. VI (Michigan, Grand Rapids:
WM.B.Eerdmans Publishing Company, 1995), hal. 781
[2]
Leon J. Wood, Nabi-Nabi Israel, The
Prophets of Israel, (Malang: Gandum Mas, 2005), hal 83
[3]
Fontaine, Corole, “Hosea” A Feminist Companion to the Latter Prophets, Sheffield:
Academic Press 1995
[4] Hornsby,
Teresa J. 1999. “Israel Has Become A Worthless Thing: Re-reading Gomer In Hosea
1-3”, dalam Journal for the Study of the Old Testament, 82
[5] Haddox,
Susan. 2006. “(E)Masculinity in Hosea’s Political Rhetoric”, dalam Israel’s
Prophets and Israel’s Past, Brad E. Kelle dan Megan Bishop Moore (eds.), New
York-London: T&T Clark.
[6] Yerobeam
II digantikan oleh Zakharia, anaknya, yang bertahta hanya dalam waktu 6 bulan
sebelum dibunuh oleh Salum yang hanya berkuasa selama sebulan sebelum dibunuh
oleh Menahem. Menahem memerintah 10 tahun lamanya dan bersedia memberikan upeti
kepada Asyur. Pekahya anak Menahem melanjutkan kekuasaan ayahnya selama 2 tahun
sebelum dibunuh oleh perwiranya sendiri, Pekah. Pekah memerintah selama 20
tahun. Di zamannya, Israel berperang melawan Yehuda. Hosea 5:8-15 kemungkinan
merefl eksikan peperangan tersebut (Day, 2001: 571). Pekah kemudian juga dibunuh
oleh Hosea bin Ela yang mengambil alih kekuasaannya. Hosea, tidak seperti
Pekah, pada awalnya bersikap pro-Asyur, namun kemudian berbalik dan memilih
berlindung di bawah kekuasaan Mesir. Pada waktu itulah Asyur menyerang Israel/Samaria.
Hosea 7:11 mengkritik sikap pro-Mesir itu yang akhirnya membawa kehancuran bagi
Israel.
[7]
Tobing Evendy, Kitab Nabi-Nabi Perjanjian Lama, (Malang: Steviera Literatur,
2019) hal 5-11.
[8]
Willem A. Vangemeren, Penginterpretasian Kitab para Nabi, (Surabaya: Momentum,
2011) hal. 51-55.
[9] Limburg,
James. 1988. Hosea–Micah, Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and
Preaching, Atlanta: John Knox Press.
[10]
Sthephen Cook “memperhatikan bahwa Hosea sebenarnya berasal dari kelompok imam
juga. Jadi yang terjadi adalah pertentangan antar-imam. Kelompok Hosea adalah
imam Yahweisme (Cook, 1999).
[11]
Kelle, Brad, Hosea 2, Metaphor and Rhetoric in Historical Perspective, Atlanta:
SBL, 2005
[12] Kelle,
Brad. 2005. Hosea 2, Metaphor and Rhetoric in Historical Perspective, Atlanta:
SBL
0 Comments