SIGNIFIKANSI PANGGILAN YUNUS 3: 1 – 6 TERHADAP PERTOBATAN NINIWE SERTA IMPLIKASINYA BAGI PENGINJIL PADA MASA KINI.

 

        

SIGNIFIKANSI PANGGILAN YUNUS 3: 1 – 6 TERHADAP PERTOBATAN NINIWE SERTA IMPLIKASINYA BAGI PENGINJIL PADA MASA KINI.

 

Abstract:

          Panggilan merupakan sebuah rancangan Allah bagi setiap orang yang hendak diutusNya untuk memenuhi dan menggenapi rencanaNya. Allah memberikan setiap panggilan berdasarkan kedaulatan Allah atas kehidupan manusia. Manusia merespon setiap panggilan dengan berlandasakan kasih karunia, melalui iman kepada Tuhan. Tuhan memberikan panggilan kepada setiap orang yang hendak diutusNya untuk melakukan misi yaitu menyampaikan Firman Allah kepada orang pilihan dengan pertobatan yang sejati dihadapan Allah. Yunus merupaka salah seorang utusan Tuhan untuk membawa kabar tentang malapetakan namun terjadi sebuah masalah atau problema dimana ada penolakkan dari dalam diri Yunus. Masalah ini menarik untuk digali lebih dalam sehingga pada konteks zaman sekarang dikaitkan dengan pribadi penginjil yang diutus Tuhan apakah ada penolakan yang sama seperti dilakukan oleh Yunus.

Kata kunci  : Panggilan, Pertobatan, Penginjil

 

Bab I

Pendahuluan

Latar belakang

          Dalam Kitab Perjanjian Lama khususnya Kitab Nabi Yunus terlihat jelas tentang panggilan Allah untuk menjalankan misiNya bagi bangsa kafir (Niniwe). Dalam sebuah panggilan Tuhan menuntut ketaatan, untuk menaati apa yang diberitahukan Allah kepadanya agar dilakukan dan dilaksanakan sesuai prosedurnya Allah. Menjalankan misinya Allah manusia tidak memiliki kehendak untuk menolak sebab kedaulatan penuh berada dalam kendali Tuhan, sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil, segala rencanaNya akan tergenapi sesuai apa yang direncanakan Allah bagi manusia itu sendiri. Kondisi ideal yang diharapkan dalam kitab Yunus merupakan rencana Allah yang ingin dicapai atau degenapi oleh hadirnya seorang pembawa kabar tentang penghukuman bagi bangsa Niniwe. Allah begitu mengasihi orang – orang yang ada di Niniwe makanya Allah mengambil tindakan untuk memanggil nabi Yunus sebagai perantara Allah bagi Niniwe. Tujuan Allah sangat terlihat jelas dengan memulai dengan panggilan kepada Yunus 1:1 – 2. Yunus diperintahkan pergi ke Niniwe, ibu kota kerajaan Asyur yang besar, serta memberitakan kabar hukuman yang akan datang. Yunus sengaja melepaskan tanggungjawabnya sebagai pembawa berita firman Tuhan, sebab ia mengetahui, jikalau Niniwe bertobat, maka hukuman tidak akan jatuh ke atasnya; dan satu – satunya hal yang sangat diinginkannya ialah supaya Niniwe dibinasakan. [1]

 

          Masalah yang mungkin bisa dianalisis dalam teks kitab Yunus adalah tentang penolakannya terhadap panggilan Allah. Hal ini sangat menarik untuk ditinjau lebih lanjut dalam konteks teks itu sendiri. Nabi Yunus sebagai seorang nabi, dipanggil oleh Allah untuk pergi ke Niniwe namun ia tidak taat melainkan pergi ke tempat yang tidak dikehendaki Tuhan. Pada kenyataannya, tidak semua Nabi dalam PL hidup sesuai dengan panggilan yang diterimanya, seperti halnya nabi Yunus. Pengutusan nabi Yunus dianggap sebagai pengutusan nabi yang paling fenomena karena tidak konsisten tehadap panggilan yang sudah dipercayakan kepadanya. Yunus menolak panggilan dari Allah karena adanya ketidaksenangan terhadap sifat – sifat dan sikap Allah yang begitu mengasihi bangsa – bangsa di luar Israel dan memiliki kekuasaan secara politik atas Israel, secara khusus Niniwe. Hal ini diinformasikan dalam narasi Yunus pasal 3 – 4. Kemarahan Yunus terhadap tindakan Allah yang penuh belaskasihan, menurut Yunus seharusnya Allah menggenapi firman yang telah disampaikannya tentang malapetaka yang akan dialami oleh Niniwe (3:4), tetapi realistisnya adalah terjadi pertobatan orang – orang Niniwe (3:5-8), dan malapetaka dibatalkan oleh Allah (3:10).

          Yunus menilai Allah sebagai sosok pribadi yang tidak konsisten dengan firman yang telah disampaikanNya. Bagi Yunus, orang – orang Niniwe yang hidup dalam tingkah laku yang sangat jahat dan penuh dengan kekerasan (3:8), seharusnya mengalami dan pantas mendapat malapetaka, tetapi realitanya Allah menyelamatkan bangsa Niniwe (3:10). Yunus mengangap bahwa tidak ada gunanya menyatakan malapetaka di Niniwe, karena Tuhan malah menyatakan belas kasihan dengan menyesal akan malapetaka yang telah dirancangNya. [2]Dengan keadaan seperti ini membuat Yunus meminta kepada Tuhan untuk mencabut Nyawanya (4:3, 8b), bahkan Yunus berkata kepada Allah “selayaknyalah aku marah sampai mati” (3:9b). [3]Problema ini sangat menarik, muncul pertanyaaan, Apakah Allah memiliki sifat ketidakkonsistenan dengan perkataanNya? Atau bisa juga muncul pertanyaan lain, mengapa Yunus kembali diutus kedua kalinya? Harusnya bisa dialihkan kepada orang lain, Benarkah Yunus adalah orang yang memiliki hati mengasihi? Sehingga Allah mau memanggilnya untuk yang kedua kalinya?. Pertanyaan – pertanyaan ini harus bisa terlintas dalam pikiran penulis dan menemukan sejumlah jawabannya berdasarkan teks narasi itu sendiri.

          Masalah mengenai penolakan atas panggilan Allah, relevan sampai saat ini sebuah konten blog yang berisi tentang kesaksian menolak panggilan Allah. Seorang tokoh bernama Brion Kallinen mengenal Tuhan sejak masa kecilnya. Tuhan pun memakainya untuk membawa banyak temannya untuk beribadah kepada Tuhan. Namun, ketika panggilan Tuhan mengetuk hatinya, ia lebih memilih impiannya untuk menjadi pemilik perusahaan truk dan membangun keluarga yang bahagia. Ia pun mulai bekerja keras mewujudkan impiannya. Sementara itu, hidupnya semakin jauh dari Tuhan. Di antara jatuh bangun usahanya, ia juga sempat menikah dan bercerai beberapa kali. Kepahitan dan kemarahan pun menyesaki hidupnya. Setiap kali melalui kesulitan, ia tahu Tuhan tengah memanggilnya kembali. Namun Brion tetap mengeraskan hatinya. Sampai pada akhirnya ia memiliki masalah serius pada tulang punggungnya dan ia harus menyerah terhadap impiannya[4]. Suatu hari, saat ia tidak tahan lagi dan menangis dalam doanya, Tuhan berkata “Brion, semua ini terjadi karena engkau menjalani jalanmu sendiri. Kalau saja dari awal engkau tata kepadaKu, tidak ada satu pun dari semua akan terjadi.[5] Fenomena tentang penolakan atas panggilan Tuhan, realita atau fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar hamba Tuhan begitu cepat tinggalkan pangilannya. Ada yang terpanggil menjadi gembala rela meninggalkan pelayanannya sebagai gembala sidang dan beralih menjadi anggota dewan, dan juga yang meninggalkan pelayanan karena masalah moral dan etika. Menurut Flora losson, hasil penelitian terhadap pemimpin rohani dan gembala sidang menunjukkan bahwa 0 – 70 persen kegagalan para hamba Tuhan dalam pelayanan yang disebabkan oleh kelelahan rohani. [6]

 

 

 

Bab II

Pembahasan

 

Definisi Panggilan

          Kata Panggilan berasal dari bahasa Latin Vocare (Kata kerja untuk memanggil) penggunaannya sebelum abad keenam belas, pertam sekali disebut dengan “Panggilan” oleh Tuhan untuk individu, atau memanggil umat manusia semua untuk keselamatan, khususnya di vulgata dan lebih khusus ke “Panggilan ke Imamat”, yang masih pengertian biasa dalam Katolik Roma. Martin Luther, diikuti oleh John Calvin, menempatkan penekanan khusus pada panggilan, atau panggilan ilahi. Kata panggilan atau calling banyak juga dipakai dalam dunia sekuler. Sering kali orang mengatakan ini adalah panggilan jiwa, ini adalah panggilan hati, ini adalah panggilan hidup dan masih banyak lagi. Kata – kata tersebut menyiratkan sebuah makna terkait dengan passion seseorang terhadap sesuatu yang menjadi fokus dalam hidupnya yang lahir dari keterlibatannya dalam suatu bidang atau bagian tertentu. Tetapi bagi pelayan Tuhan, kata panggilan memiliki makna yang jauh lebih dari sekedar passion, karena panggilan bagi pelayan Tuhan adalah berkaitan dengan komitmen diri yang melibatkan seluruh aspek kehidupan. Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan yang didasarkan atas sebuah keyakinan bahwa panggilan itu datangnya dari Tuhan, ketika seseorang meresponi panggilan Tuhan, dengan mempersembahkan diri dan seluruh hidup bagi pekerjaan Tuhan. Seorang tokoh bernama London mengatakan bahwa “panggilan hamba Tuhan adalah sebuah pertemuan pribadi seseorang dimana Allah mengundang seseorang untuk melakukan tugas khusus yang tak pernah dipahaminya sepenuhnya.[7]

 

          Menurut Martin Luther, Panggilan iman secara teologis adalah konsekuensi dari sola fide. Panggilan iman mesti dipandang dari sebuah kebenaran oleh iman dan merupakan perilaku, penampilan yang dipertontonkan dari orang – orang Kristen yang telah dibenarkan.[8]Jadi sudah selayaknya seorang yang memiliki status orang Kristen dipercayakan untuk menerima panggilan melayani Tuhan harus merespon panggilan itu dengan penuh sukacita dan rasa tanggungjawab. Karena menurut Calvin, panggilan iman adalah karunia Allah dan meneguhkan orang yang menerima panggilan itu untuk melakukan kehendak Allah dan taat kepadaNya sebagai pengutus yang memiliki otoritas penuh atas kehidupan yang diutus.

 




[1] Frank, M. Boyd, A.B., Kitab Nabi – nabi kecil, Malang: Gandum Mas, 2016, halaman 27.

[2] Pernyataan diri Allah dengan “Menyesal” telah menjadi perdebatan secara teologis, dikalangan para teolog. Ada yang mengatakan bahwa Allah tidak mungkin menyesal literaturnya (Louis Berkof, Charles C. Ryrie, Millard J. Erikson, Paul E. Little) dan ada juga kalangan teolog yang mengemukakan bahwa bahwa Allah mungkin saja menyesal (A. Th. Kramer, Donald C. Stamps, Greogory A. Boyd, Richard Rice), dengan alasannya masing – masing, namun dalam orasi Ilmiah ini, kajian ini tidak difokuskan pada penyelesaian perbedaan pandangan teologi yang ada, tetapi mengacu pada pengutusan nabi Yunus berdasarkan perpektif Allah yang menyesal.

[3] TIndakan Yunus dengan marah kepada Tuhan menunjukkan betapa kesalnya terhadap tindakan Tuhan, ia sangat tidak menerima dengan tindakan yang seperti itu, bahkan Yunus menilai dirinya pantas untuk marah kepada Tuhan hingga tiba pada hari kematiaannya, demikianlah permasalah yang sedang dihadapi oleh nabi Yunus.

[4] Mengeraskan hati dalam menolak panggilan Tuhan bukanlah sesuatu solusi yang tepat disaat seseorang terpuruk dalam kondisi, keadaan ekonomi, sosial itu bukanlah solusi yang tepat. Semakin ditolak, maka Tuhan semakin menyatakan bahwa seseorang itu harus terpangil dan dipakai untuk memuliakanNya.

[5] Kutipan dari Blog, gbika.org/akibat-menolak-panggilan-tuhan/, Upload Maret 16, 2019.

[6] Kelelahan spiritual adalah sebuah istilah yang dipakai oleh Flora losson Wuellner untuk menggambarkan kondisi kerohanian seseorang yang mengalami masalah pribadi dan masalah dalam pelayanan yang menyebabkan kerohanian terganggu dan tidak dapat menikmati hal – hal yang rohani termasuk relasi dengan Tuhan. Kelelahan rohani juga merupakan kondisi yang mengancam iman dan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan – keputusan yang berhubungan dengan iman. Flora losson Wauliner, Gembalakanlah gembala – gembalaKu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), halaman 124.

[7] London, H.B. Jr, Niel B. Wiseman, Pelayanan Allah yang berjiwa besar, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Imanuel, 1999), halaman 154.

[8] Kutipan, H.W.B. Sumakul, Panggilan Iman dalam Teologi Luther dan Calvin, suatu Kajian Etika Sosial Politik dalam Gereja Reformasi, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2016), Halamn 60.

Post a Comment

0 Comments