Hukum Taurat dalam Perjanjian Lama
Hukum Taurat dalam Perjanjian Lama merupakan salah satu pokok teologi dalam teologi Perjanjian Lama. Ini merupakan pokok penting karena pemahaman terhadap Hukum Taurat saat ini masih menimbulkan pertanyaan - pertanyaan dan interpretasi yang berbeda - beda. Berbagai isu yang muncul antara lain, apakah Hukum Taurat masih relevan sampai saat ini, dan jika ya bagaimana menerapkannya. Pernyataan - pernyataan dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru, secara khusus dalam tulisan Rasul Paulus (Galatia, Filipi, Tesalonika, Roma, Korintus) banyak menimbulkan berbagai penafsiran terhadap Hukum Taurat.
Untuk memahami pokok teologi ini secara proposional, maka pembahasan tentang pokok Hukum Taurat harus dimulai dari aspek historisnya dalam Perjanjian Lama dan kemudian dalam diskusi teologisnya baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
Hukum Taurat Dalam Aspek Historisnya arti dari Hukum Taurat
Istilah Torah berasal dari akar kata yara (salah satu arti dalam konjungasi Hifil) berarti menuntun, mengajar, atau memerintahkan. Di dalam Kitab Musa, Hukum Taurat pertama - tama terangkum dalam kesepuluh hukum (Kel. 20), dan hukum - hukum yang berkaitan dengan ibadah bangsa Israel seperti halnya ketentuan Kurban (Imamat 6:9; 9:37), peraturan bagi hari sabbat (Kel. 12), Paskah (Kel.24). Dalam Kitab Yosua dipakai istilah Hukum Musa untuk menunjukkan kepada Hukum Taurat. Hal ini ingin memberikan pengertian bahwa, Musa sebagai perantaraan Hukum Taurat dan bahwa Hukum Taurat itu telah dirangkum di dalam segala peraturan yang diberikan melalui Musa (Yosua 8:30 - 32).
Pada perkembangannya Hukum Taurat yang dikenal dengan Hukum Musa menjadi Hukum yang bersifat komprehensif. Hukum Taurat dipakai untuk menunjukkan kumpulan - kumpulan Hukum atau perintah yang berhubungan dengan hukum Seremonial atau keagamaan, Hukum Moral dan hukum Sipil. Dalam Perjanjian Baru istilah Hukum Taurat (nomos) dipakai untuk menunjukkan keseluruhan kitab Pentateukh. Jangkauan Hukum Taurat yang mencakup kepada keseluruhan kitab Pentateukh secara eksplisit dinyatakan oleh Tuhan Yesus dalam Luka 22:44. Bagian dalam Perjanjian Baru juga memahami Hukum Taurat sebagai keseleruhan dari tulisan Perjanjian Lama (Yohanes 10:34; 12:34).
Asal usul dan Tujuan Hukum Taurat
Asal usul Hukum Taurat dalam Perjanjian Lama tidak dapat dipisahkan dengan pemilihan Allah atas bangsa Israel sebagai umat pilihan. Pemilihan Allah atas umat itu telah dimulai jauh sebelum umat itu ditetapkan sebagai umat pilihan. Pemilihan Allah pertama - tama dinyatakan secara jelas dalam Perjanjian Allah dengan Abraham (Kej. 12:1-3). Hukum Taurat dimulai dengan Perjanjian Allah dengan Abraham. Dengan inisiatifNya, Allah mengikatkan diriNya sendiri dalam Perjanjian Allah dengan Abraham merupakan landasan bagi Perjanjian Sinai (Hukum Taurat) yang satu sama lainnya saling melengkapi.
Pemberian Hukum Taurat merupakan sebagian pemberian dari diri Allah sendiri kepada umatNya dalam Perjanjian dan dalam maksud - maksud kasih yang sama (Kel. 19:5 - 6). Demham demikian Hukum Taurat lahir dari perjanjian Allah dengan umatNya dan Hukum Taurat harus dipahami sebagai pengikat perjanjian antara Allah dengan umatNya. Janji selalu menopang Hukum Taurat, sebaliknya Hukum Taurat selalu mengisyaratkan adanya janji. Perjanjian Allah dengan Abraham mengenai keturunan yang digenapi pertama - tama kepada bangsa Israel yang diselamatkan dari perbudakan Mesir.
Hukum Taurat diberikan setelah karya penyelamatan Allah atas bangsa Israel, bukan sebagai alat untuk menyelamatkan bangsa Israel. Bangsa Israel menjadi umat pilihan dan "disyahkan" dalam Perjanjian Sinai (Kel. 19). Secara geografis, Sinai merupakan "tempat lahirnya" Hukum Taurat bagi bangsa Israel. Secara kontekstual, Hukum Taurat itu merupakan instrumen yang diberikan melalui Musa. Hukum Taurat, dalam semua rinciannya, merupakan alat yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadikan Israel suatu "bangsa yang kudus" Kel. 19:6.
Melakukan Hukum Taurat dengan demikian tidak dipahami sebagai sarana yang orang Yahudi percaya dapat mereka gunakan untuk memperoleh akses kepada Perjanjian itu. Sebaliknya, syariat Hukum Taurat itu merupakan ekspresi dari fakta bahwa orang - orang Yahudi sudah menjadi anggota umat Perjanjian Allah dan selama hidup mereka menjalankan kewajiban - kewajiban Perjanjian itu. Bangsa Israel sebagai umat Allah yang lahir dari Perjanjian Allah, harus hidup sesuai dengan pedoman - pedoman Allah. Inilah tujuan pemberian Hukum Taurat bagi bangsa Israel. Melalui Hukum Taurat, bangsa Israel dapat menunjukkan perilaku yang sesuai dengan kedudukan mereka sebagai umat pilihan Allah. Hukum Taurat sebagai pedoman bagi perjalanan bangsa Israel menuju tanah Perjanjian, tetapi juga sebagai pedoman bagi seluruh aspek kehidupan
Rujukan:
Knox Chambilan (ed. Feinberg), Hukum Musa dan Hukum Kristus dalam masihkah relevan Perjanjian Lama di Era Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1996, halaman. 287.
William Dyrness, Tema - tema dalam teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 1993, halaman 110.
0 Comments