Daftar isi
Bab
I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang………………………………………………………………….. 3
1.2
Rumusan
Masalah………………………………………………………………. 4
1.3
Tujuan
Penulisan………………………………………………………………... 4
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian
Ibadah……………………………………………………………….. 5
2.2 Tinjauan
Teologis Tentang Ibadah……………………………………………… 5
2.3 Pembaharuan
Ibadah Dalam Alkitab…………………………………...……….. 6
2.4 Teologi
Ibadah…………………………….…………………………………….. 7
2.5 Bentuk
Ibadah…………………………………………………………………… 8
2.6 Ibadah Devosional…………...………………………………………...………... 9
2.7 Unsur-Unsur
Ibadah Liturgis…………………………………………………….10
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………… 11
3.2 Daftar
Pustaka…………………………………………………………………... 12
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam konteks Ibadah setiap orang memiliki pandangan
bahwa ibadah itu mencakup gaya hidup dan tempat untuk melaksanakan ibdah
tersebut. Khususnya pengikut Kristus mengadakan persekutuan ibadah ditempat
umum atau di sebuah Gedung Gereja. Gereja sendiri memiliki defenisi bahwa
merupakan tempat persekutuan bagi orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan
diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia, hal ini merupakan hakikat
gereja. Tempat ini juga dikenal sebagai suatu organisme yang senantiasa tumbuh dan
berkembang. Gereja sebagai persekutuan sekaligus sebagai suatu organisme pada
saat ini merupakan wujud atau hasil perkembangan dari jemaat Kristen mula-mula
(Kisah Para Rasul 2:41-47) yang lahir dari sebuah gerakan sosial keagamaan yang
dipelopori oleh Yesus.[1]Ini
dimulai dari gerakan sosial keagamaan hingga kepada sebuah jemaat kristen
perdana, yang kemudian melalui perjalanan panjang berabad-abad persekutuan
orang-orang percaya ini mengalami perkembangan hingga berbentuk Gereja seperti
pada saat sekarang ini. Peribadatan kepada Tuhan merupakan kehendak Tuhan unuk
memuliakan namaNya, sehingga orang-orang percaya dimampukan untuk melayani dan
memberikan hidupnya hanya untuk Tuhan.
Seiring perkembangan zaman keberadaan tempat peribadatan
atau gereja dipahami sebagai bagian dari dunia, bagian dari zaman yang
berkembang, bagian dari suatu tempat di mana ia berada, dan bagian dari
masyarakat dunia, hal-hal ini disebut juga dengan konteks. Gereja sebagai
organisme yang hidup tidak bisa terlepas dari konteks, artinya gereja akan
dapat terus hidup apabila gereja terus merespon konteksnya. Dengan demikian
gereja dituntut untuk selalu dinamis menyikapi perubahan-perubahan yang ada.
Hal ini bertujuan agar gereja dapat menghadirkan damai sejahtera dari Allah
kepada dunia.
Perubahan zaman serta perkembangan pemikiran manusia
turut menjadi bagian sejarah dari perjalanan panjang sebuah gereja. Berbagai
pemikiran tentang gereja muncul dan berkembang pada masa lalu membentuk suatu
sejarah yang mengandung nilai-nilai teologis yang berguna bagi keberadaan
gereja pada masa sekarang. Oleh karena itu gereja tidak mungkin akan bertahan
tanpa adannya perubahan, karena apabila gereja tidak melakukan
perubahan-perubahan, maka itu sama artinya bahwa gereja bersifat defenisif
yakni mempertahankan diri dalam bentuk lama dan terjebak pada sikap
konservatif yang tertutup pada
perubahan. [2]
1.2
Rumusan masalah
Pada penulisan
judul makalah ini sangat penting untuk membahas tentang peribadatan yang
kontekstual. Untuk melahirkan sebuah ibadah yang berkenan dihadapan Tuhan,
tidak dilakukan dengan sembarangan atau serabutan saja, perlu dilakukan
persipan dan juga melakukan tindakan yang menyenangkan hati Tuhan lewat pujian,
penyembahan, dan pembaharuan iman yang diletakkan pada kekekalan untuk menjadi
keserupaan dengan Kristus. Nah ada beberapa pertanyaan yang mungkin dibahas
pada penulisan ini;
- Defenisi&Teologis tentang Ibadah?
- Bagaimana bentuk Ibadah dalam PL&PB?
- Unsur-unsur Ibadah?
- Ibadah yang devosional&liturgis?
1.3
Tujuan penulisan
Dalam penulisan
makalah ini memiliki tujuan yang sangat penting dan memiliki manfaat bagi
setiap pembaca. Mengetahui tentang hakekat peribadatan yang dilakukan dengan
Teologi yang benar, sesuai konteks Alkitab. Akan menjawab rumusan masalah yang
telah diangkat dalam judul makalah ini anatara lain; mengetahui defenisi dan
secara teologis tentang hakekat, serta peribadatan yang dilakukan, mengetahui
bentuk ibadah yang dilakukan dalam konteks PL dan PB, memahami unsur-unsur pada
peribadatan, mengetahi liturgis dan devosional dalam peribadatan kepeda Tuhan.
Dengan tujuan ini maka pembaca memiliki pemahaman yang benar dan juga
membandingkan dengan liturgis ibadah yang dilakukan dalam setiap tempat ibadah
saat ini.
Bab II
Pembahasan
2.1
Pengertian Ibadah
Ibadah merupakan sebuah liturgi dan
gaya hidup orang percaya untuk menyanjung dan meninggikan nama TuhanNya. Konsep
esensial dari istilah ibadah adalah pelayanan. Istilah-istilah Avoda (Ibrani), dan Latreia (Yunani) berarti pekerja seorang budak atau pelayanan
upahan.[3]Dalam
bahasa Ibrani kata kerja dari Avoda adalah abad yang berarti “bekerja”, bekerja
sebagai “buruh” membanting tulang, mengolah tanah, membajak, melayani, bekerja
sebagai budak, beribadat. Sedangkan kata bendanya adalah ebed yang berarti
“buruh”, “pelayan”, budak, orang jaminan, penyembah.[4]Kata
ebed pertama kali digunakan dalam kitab Kejadian saat Adam memelihara taman
Eden, dan setelah Adam harus bekerja keras saat jatuh dalam dosa. Kata ini
digunakan kembali saat bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dengan tujuan
beribadah (ebed) kepada Allah. Dengan demikianlah tujuannya adalah beribadah
hanya kepada Allah.
Istilah liturgy yang berasal dari
bahasa Yunani Leiturgia, kata ini
terbentuk dari kata dasar ergon
(karya), yang merupakan kata sifat untuk kata benda Laos (bangsa). Istilah ini mulanya dipakai untuk menunjuk pada
pelayanan kepada lembaga politik, kemudian menjadi pelayanan pada umumnya, lalu
menjadi istilah yang menunjuk pada pelayanan penyembahan. Dalam Perjanjian
Baru, istilah ini dipakai untuk menunjuk pada persekutuan doa, dan puasa (Kis.
13:2), untuk pengmpulan bantuan bagi jemaat di Yerusalem (Fil. 2:25). Ibadah
adalah leitorgia yang mengatur relasi antara sesama manusia.
2.2 Tinjauan Teologis tentang
Ibadah
Ibadah
adalah Perjumpaan dengan Tuhan. Ibadah jemaat pada hakikatnya adalah suatu
pertemuan antara Tuhan Allah dan jemaat. Ibadah pada satu sisi adalah perintah
Tuhan Allah sebagaimana dengan tegas dikemukakan dalam dasar titah untuk hanya
menyembah Tuhan Allah. Alasan Tuhan Allah membebaskan umatNya dari perbudakkan
di Mesir adalah agar umatNya beribadah kepada Tuhan Allah (Keluaran 3:13; 5:3;
7:16; 8:1, 20). Misi pembebasan umat ada kaitannya dengan ibadah kepada Tuhan
Allah. Andrew Brake menegaskan bahwa apa pun gaya penyembahan kepada Allah maka
Allah menjumpai umatNya asalkan penyembahan itu difokuskan hanya kepada
diriNya.[5]
Dalam Konteks ini juga Ibadah
melahirkan Visi dan Misi. Pertemuan antara Tuhan Allah dengan manusia selalu
melahirkan visi dan misi sehingga umatNya mempersembahkan seluruh hidup umatNya
hanya bagi Tuhan. [6]
Perjumpaan Tuham dengan Abram ditandai oleh Tuhan Allah berfirman kepada Abram
untuk “pergi ke negeri” yang akan ditunjukkan oleh Allah sendiri. Misinya
adalah untuk menjadi berkat (Kejadian 12:1-3). Pada Perjanjian Baru juga
membahas tentang keteladan Yesus beribadah dengan dilandasi dengan alasan
beribadah; Karena Ia tahu bahwa Allah hadir di mana saja, Sinagoge
menghubungkan antara masa lalu dan masa kini, Sinagoge adalah tempat persekutuan.[7]
Dengan demikian maka segala pekerjaanNya, Ia lakukan dalam persekutuan dengan
Allah.[8]
Ibadah juga merupakan kedisplinan rohani, yang
akan mendisplinkan spiritualitas yang sangat penting dalam memperkuat motivasi
untuk terlibat dalam misi. Tempat dari displin spiritual iman orang percaya
ditemukan dalam relasinya yang konkrit dari keterlibatan orang-orang percaya
dalam persukutuan jemaat di tingkat basis. Pada Perjanjian Lama, pertobatan
berasal dari kata shuwd yang berarti berbalik atau kembali kepada Allah, dengan
segenap hati, jiwa dan kekuatan seperti pada2 Raja-raja 23:25. Pada Perjanjian
Baru, kata metanoia berarti menjangkau makna terdalam dari belajar. Melalui
belajar, mampu menjadi berbuat sesuatu, memahami Tuhan Allah, serta memperluas
kapasitas untuk menciptakan, menjadi bagian daripada proses kehidupan yang
generative. [9]
2.3
Pembaharuan ibadah dalam Alkitab
Sepanjang sejarah Alkitab, realitas kehidupan adalah
bagian penting dalam liturgy Ibadah. Di dalam PL, hubungan khusus antara Allah
dan bangsa Israel, yang dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Yahudi
selalu diperingati dan menjadi bagian integral dalam Ibadah.[10]
Di dalam kehidupan banyak masalah-masalah yang menjadi sumber pergumulan umat
Tuhan di mana dalam kondisi mengalami penjajahan, rasa tidak aman sebagai
bangsa kecil berada di antara bangsa-bangsa di sekeliling yang sewaktu waktu
bisa menyerang, rasa takut di tanah Pembuangan. Di sisi lain, siklus perubahan
musim, kebutuhan upacara-upacara masyarakat agraris cukup memberi warna
terhadap ibadah Israel.
Pada PB, Inkarnasi dan misteri paskah, dan Pentakosta
mewarnai ibadah; bisa jadi karena perkembangan peradaban/situasi kehidupan
manusia.[11]
Sejarah ibadah kristen juga adalah sejarah “give and take” antara ibadah dan budaya.
Singkatnya, perubahan dan penyesuaian merupakan bagian yang tidak pernah
terpisahkan dari ibadah orang percaya khususnya Kristen.
2.4
Teologi Ibadah
Alkitab tidak
memberikan penjelasan yang sangat gambalang tentang defenisi tetapi hakekat
ibadah itu tersirat di dalamnya. Ibadah itu merupakan Perintah Tuhan bagi
umatNya, sebagai bukti ketaatan, sebagai penyataan kasih/pelayanan kasih Allah
kepada dunia termasuk manusia dan respons manusia atas pelayanan kasih Allah.[12]
Ibadah merupakan cara orang percaya menghidupi, mengalami dan merayakan karya
keselamatan. Semua yang telah dilakukan Allah dalam sejarah diperbaharui dan
dihadirkan kembali untuk dialami jemaat dalam situasi hidup umat yang konkret
sekarang ini. Ibadah menekankan proses renewal dan internalisasi iman yang
harus berefek pada kehidupan yang nyata, dalam kesedaran inilah hendaknya
Ibadah digumuli ulang. [13]
Pada pengertian ini, kedudukan dari fungsi liturgy menjadi sarana di mana
jemaat merasakan karya kasih Allah dalam sejarah menjadi nyata dalam kehidupan
umatNya, sekaligus juga liturgy menjadi arena bagi jemaat untuk mengekspresikan
ungkapan syukurnya kepada Allah melalui elemen-elemen yang ada dalam situasi
konkretnya.[14]
Selain fungsi representative, ibadah (liturgy) dalam Alkitab mengandung dimensi
pengajaran (1Korintus 14:26) dan persekutuan; memecahkan roti bersama dan doa (Kis. 2:42).[15]
Seringkali Ibadah bukan lagi didasarkan pada karya Allah yang akhirnya direspon
oleh manusia.
Dalam
prakteknya, perbedaan ini cukup tipis sehingga kadang dari bentuknya sulit
dibedakan. Liturgi memiliki dimensi peringatan atau pengingatan. Pengingatan
berarti menyatakan suatu hubungan antara masa lampau dan masa kini, yang
olehnya nilai-nilai masa lampau itu dijadikan berlaku lagi, sekarang dan di
sini, menjadi aktif lagi dan membaharui dan memberi dorongan untuk bertindak.[16]
Mengingat dan mengulang-ulang adalah kegiatan penting dalam liturgy.
Pengingatan mencakup reinterpretasi, refresh tindakan penyelamatan Allah atas
setiap orang. Ibadah-ibadah Taize memberi tekanan pada pengingatan dana
pengulangan ini. pembacaan Alkitab dilakukan dalam rangka mengingat, mengunyah
dan mencerna makna firman Tuhan. Pengulangan ini dilakukan dalam kesadaran
penuh untuk memahami sesuatu. Seorang tokoh Olst berkata, hal penting dalam pengingatan yang membentuk inti
dari semua perayaan liturgis adalah “demonstrasi-demonstrasi akan tujuan
penyelamatan Allah yang dimengerti dan dialami, diakui dan ditafsirkan secara
liturgis dalam masa kini, meskipun itu terjadi di masa lampau. Dengan demikian,
bukan lagi masalah minat historis dan ritus-ritusnya yang menjadi pusat
penekanan, tapi proklamasi tentang perbuatan Allah dalam kepentingannya untuk
setiap masa. [17]
Fungsi fakta historis bentuk-bentuk ibadah (ritus) dalam Alkirab dan sejarah
gereja bukanlah bersifat mutlak, karena praktek-praktek ibadah itu adalah
sarana untuk menolong umat untuk memahami belajar, menyadari dan memberi respon
atas tindakan Allah yang berlaku dulu dan sekarang.
Liturgi di sini perlu dipahami, bahwa ibadah bukan
berporos pada daya tarik yang dihasilkannya sehingga upaya entertainment
alternative menjadi hal yang utama. Tapi kesadaran penuh akan kebaikan Allah
yang menjadi dasar dari respon dan hormat umat Allah dalam peribadatan kepada
Allah. Kesadaran itulah yang melahirkan pujian yang benar, pengakuan yang
jujur, tulus, dan komitmen yang jelas.
2.5
Bentuk Ibadah
Pada kehidupan
umat Israel, perlu dilihat bahwa umat manusia tidak menghampiri Allah dengan
sembarangan seperti keinginan manusia, apalagi dengan motif menyenangkan diri,
kalaupun bangsa Israel sendiri diberi ruang keleluasan untuk bertindak secara
spontanitas.[18]
Umat manusia hanya bisa datang kepada Tuhan lewat kehidupan yang benar,
memiliki relasi dengan mengenal, menyembah melakukan peribadatan kepad Allah
dan juga persekutuan anatara jemaat umat Tuhan.
·
Dalam PL
Pada Perjanjian Lama sering ditemui informasi bahwa Allah
mengatur bentuk dan cara beribadah, sehingga bentuk itu menjadi ungkapan nyata
dari iman jemaat Tuhan. Ketetapan-ketetapan beribdah yang diberikan oleh Allah,
tidak hanya bermaksud menyediakan jalan bagi Israel untuk menyatakan imannya
bukan hanya karena jemaat Tuhan tidak tahu cara beribadah, tapi karena pada
dasarnya manusia tidak layak untuk beribadah. Selain itu, lewat ibadah, Allah
juga menyediakan jalan kembali kepada kerukunan dan persekutuan yang telah
terputus.
Bentuk Ibadah dalam Alkitab menyangkut juga perilaku
orang dalam beribadah, karena perilaku manusia adalah merupakan cerminan isi
hati dan membantu juga untuk mengingatkan akan iman dan tanggung jawabnya.
Tanda-tanda lahiriah ini menjadi alat pendidikan, pengajaran. Sebaliknya
bentuk-bentuk ibadah ini dapat juga menjadi sarana untuk menyadarkan seseorang
akan realitas Allah. [19]
bentuk-bentuk ibadah tersebut tidaklah mutlak, karena menjadi dari bentuk dan
perilaku dalam ibadah itu berfungsi menjembatani/membantu jemaat untuk
mengekspresikan imannya dengan melakukan peribadatan kepada Allah. Bentuk
ibadah memang seolah-olah membatasi kebebasan. Tapi batasan terhadap bentuk
ibadah ini bukan berarti penindasan, karena kemerdekaan sejati tidaklah
diperoleh dan dinikmati dengan cara bertindak sesuka hati tanpa batasan,
melainkan dengan berjalan pada jalan yang ditentukan Allah. Nabi-nabi pernah melontarkan
kritik terhadap sikap eksternalisme dalam pelaksanaan ibadah, karena bentuk
lahiriah ibadah tanpa iman yang hidup dan bertumbuh adalah sia-sia. Aspek
bentuk ini merupak ungkapan sosial yang dalam faktor-faktor penetapan liturgy [20],
merupakan hal penting, dengan mana gerja akan mencerna, menginternalisasi iman
yang di imani dan dengan bentuk itu juga gereja menyaksikan imannya.
·
Dalam PB
Ibadah dalam Perjanjian Baru, dilaksankan dalam Bait
Allah dan sinagoge yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tuhan Yesus juga ada
dalam dua tempat tersebut. Selain itu jemaat mula-mula juga berkumpul untuk
beribadah di Bait Allah (Kis. 2:48). Yang membedakan adalah bahwa Yesus tidak
lagi menekankan ibadah sebagai suatu tempat, tetapi Ia menekankan bahwa ibadah
adalah sungguh-sungguh memberikan hidup dan hati kepada Allah. Jadi ibadah yang
sebenarnya adalah suatu pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah tidak hanya
dalam arti beribadah di Bait Suci, tetapi juga di dalam arti pelayanan kepada
sesama (Yakobus 1:27). Setelah periode Yesus, terjadi perubahan dalam hal
ibadah, suatu contoh dalam Kisah Para Rasul 20:7 dituliskan tentang perubahan
waktu ibadah yang dilakukan oleh orang Kristen yaitu pada hari pertama dalam
hari minggu. Perjamuan kasih dan perjamuan Tuhan adalah hal-hal yang lazim
dilakukan dalam ibadah Kristen (1 Kor. 11:23-25).
2.6
Ibadah Devosional dan liturgy
Menurut eksistensi
manusia dengan merespon ibadah memiliki dua bentuk, yakni ibadah devosional dan
ibadah liturgis. Ibadah devosional dilakukan secara pribadi dan tidak terlalu
terikat pada tempat waktu atau tata ibadah. Ibadah ini lebih berfokus pada
perenungan dan kesadaran. Saat teduh pagi (dalam bentuk meditasi, kontemplasi,
rekoleksi, baik secara pribadi atau bersama dalam keluarga) dapat digolongkan
dalam bentuk devosional. Sementara ibadah liturgis selalu menyangkut
kebersamaan yang lebih besar dari individu[21]
yang tentunya porsi individu tidak diabaikan, bahkan mendapat peran penting;
seperti saat teduh sebelum unsur pengakuan dosa. Alasannya ibadah liturgis
menyangkut kebersamaan, maka ia membutuhkan bentuk yang secara bersama bisa
dimengerti, mampu mengakomodasi expressi individu dan bersama secara wajar.
Karena itu faktor tradisi dan konteks jaman memainkan peranan penting.[22]
2.7
Unsur-unsur Ibadah liturgis
Dalam merangkum
esensi ibadah yakni; bertemu dengan Allah dalam ibadah dan menyadari realitas
kebesaran Allah, menyadari realitas diri (maksud Allah atas kehidupan manusia,
juga menyadari keberdosaan manusia), pertobatan, pembaharuan relasi dengan
Allah, Firman, dan akhirnya berbuah kesadaran akan tugas dan tanggung jawab
yang telah ditebus oleh Allah. Kesadaran ini akhirnya mendapat bentuk nyata
yang terintegrasi dalam unsur-unsur utama dalam ibadah kristen.
·
Kesadaran akan hadirat Allah
Kekuasaan,
kemuliaan, kebesaran, cinta dan juga Allahlah alasan yang memungkinkan
seseorang untuk melakukan ibadah dan mengenal kasih dan maksudNya dalam
kehidupan setiap manusia. Kesadaran inilah yang menjadi dasar sukacita dan
pujian manusia kepada Allah dalam ibadah. Di luar hal ini, maka unsur
penampilan serta menonjolkan dirilah yang menjadi dasar sukacita dalam
beribadah.
·
Kesadaran diri
Kesadaran
akan Allah merupakan esensi peribadatan dalam mengoreksi diri yang akhirnya
melahirkan pengakuan dosa, kekhawatiran, kelemahn, ketakutan dan banyak hal
lainnya. Orang menyadari kelemahan, menyadari semua pelanggarannya dan mengakui
dosanya dengan tulus, inilah yang diinginkan oleh Tuhan. Pengakuan inilah yang
mendahului obsolusi (penebusan dosa) dan rekonsiliasi (pendamaian).
·
Pengampunan dan pendamaian
Hanya
dari Allah lah berasal pengampunan dan hanya Dialah yang mampu melakukan
pendamaian itu juga. Allah menjadi dasar manusia dalam melakukan pendamaian
dengan sesama. Inilah yang melahirkan rasa damai sejahtera dalam hidup manusia.
·
Firman-komunikasi
Orang
yang telah diampuni dan berdamai menjadi gerbang komunikasi yang baik dengan
Allah. Dengan hal ini manusia setiap nafas kehidupannya memiliki keleluasan
dalam menjalin relasi dengan komunikasi lewat doa, penyembahan dan Firman
Tuhan.
·
Response
Respon
merupakan kontribusi manusia dalam pengakuan imannya, persembahan, dan juga
kehidupan setiap orang percaya dalam menjalani kehidupannya bersama Tuhan
sehingga manusia itu memiliki keterikatan dan ketergantungan hanya kepada Tuhan
saja.
·
Komitmen
Orang
percaya juga harus memiliki komitmen yang kuat bersam Tuhan, dengan adanya
komitmen maka kehidupan setiap orang percaya akan memahami akan keberadaan
Allah dan juga relasi keintiman bersam Tuhan berlangsung dalam kehidupan orang
percaya.
·
Pengutusan
Di
dalam pengutusan ini orang percaya sangat diharuskan untuk menjadi pembawa
kabar keselamatan bagi umat manusia yang dipilih oleh Allah, dan hidup manusia
sebagai penerima mandat dari Allah, sebab Allah memakai kehidupan manusia untuk
menyatakan misinya bagi dunia.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada konteks peribadatan terdapat dua bentuk yang
berbeda. Dalam PL konteks peribadatan dilakukan di tempat Perkemahan atau Kemah
Suci, peribadatan yang dilakukan untuk mempersembahkan korban dihadapan Allah.
Pada konteks PB ibadah dilakukan dalam Bait Allah juga di sinagoge, untuk
melakukan pujian, penyembahan, dan juga melakukan liturgy dalam ibadah
berlangsung. Ibadah sesungguhnya mencakup seluruh kehidupan orang percaya untuk
mempererat hubungan atau relasinya dengan Tuhan. Juga pada masa modernisasi ini
harus tetap menjaga nilai-nilai ibadah dan juga cara hidup dalam merespon
kehadirat Allah bagi kehidupan manusia sekarang ini.
Banyak yang terjadi pembaharuan liturgy, pada masa kini
maka dari hal itulah perlu dipahami bahwa ibadah yang kontekstual itu membuat
manusia sekarang mengerti dan mendalami tata ibadah dan cara hidup berjemaat
dalam ibadah, agar tidak menimbulkan keambiguan dan menyimpang dari nilai
kebenaran dari peribadatan itu sendiri. Untuk itu ibadah yang kontekstual ini
menjelaskan banyak hal dimana penekanannya lebih kepada dasar Alkitabiah dan
juga liturgy yang berdasarkan kebenaran ketika pada hakekatnya ibadah itu
menyerahkan segala hidup dengan mempersembahkan hanya kepada Tuhan dan tidak
untuk kepada perbuatan daging dan kemauan manusia itu sendiri.
3.2 Daftar Pustaka
Gerd Theissen, Gerakan
Yesus, Sebuah Sosiologi Tentang
Jemaat Kristen Perdana, Ledalero, Maumere, 2005
Darmaputera, Eka, ”Menuju
Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1998)
J. G. S. S. Thomson, “Worship”
in J. D. Douglas (eds), The New Bible
Dictionary (London: Inter Varsity Press, 1982)
Matt Redman, Menyembah
dalam Roh dan Kebenaran (Yogyakarta: Andi, 2010)
Andrew Brake, Spiritual Formation: Menjadi Serupa dengan Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 2014)
G. Barna, Mengejawantahkan
Visi ke dalam Aksi (Jakarta: Metanoia, 1998)
W. R. Bowie, “Exposition
of the Gospel According to St. Luke” in G. A. Butrick et.al. (eds), The
Interpreter’s Bible, Vol. 8 (Nashville: Abingdon Press, 1991)
J. Ch. L. Abineno, DOA
Menurut Kesaksian Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992)
P. M. Senge, The Fifth
Dicipline (New York: Dobleday Currency, 1990)
Balasuriya., “Theology
Siarah”(Jakarta; 1994, BPK Gunung Mulia)
Sejarah Peribadahan
Orang Kristen Merupakan Proses take and give anatara Agama dan Budaya, bdn,
Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy”. (USA Paulist Press; 1982)
Burkhart. J.E, “Worship”.
(A Searching Examination of the Liturgical Expirience), (1992; 17), Westminster
Press, Philadelphia, bnd, Dyrness, W., BPK GM, 1992
Alceste Atella in “Hand
Book for Liturgical studies”, edited by Chuoungco, (1998: 4, 5), The
Liturgical Press, Collegeville Minnesota.
Crichtone J. D, “The
Church Worship” (1964; 27), bnd. White. J.F., “Pengantar Ibadah Kristen” (2002; 12), Jakarta, BPK Gunung Mulia
Senn. F.C., “Christian
Worship and its Cultural Setting” (1983; 39), Fortress Bnd. Chupungco.
A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy”
(1982; 6-9), USA Paulist Press. Dimensi pendidikan dari ibadah ini juga dianut
oleh Calvin, bnd. Van den End., “Enam
Belas Dokumen Dasar Calvinisme”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
Bnd. Schreiter. R.J., “Constructing
Local Theology”, (New York: 1991, Orbis book, Maryknoll)
Olst, E.H. Van den End., “Enam
Belas Dokumen Dasar Calvinisme”, (Jakarta: 1996, BPK Gunung Mulia)
Dyenes, W., “Tema-Tema
Dalam Teologi Perjanjian Lama” (Jakarta; 1992, BPK Gunung Mulia)
Oehler. G., (1880; hal. 264)
Reimer, G., “Cermin
Injil, Ilmu Liturgi”, (OMF; 2003)
Erey. M., “Liturgical
Worship”, (church Publishing House; 2002)
Bnd. Hesselgraf., “Kontekstualisasi, Makna, Metode dan model”, (Jakarta; 2002, BPK
Gunung Mulia),
[1]
Gerd Theissen, Gerakan Yesus, Sebuah Sosiologi Tentang Jemaat Kristen
Perdana, Ledalero, Maumere, 2005, Hal 1-2
[2] Darmaputera, Eka, ”Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Konteks Berteologi di Indonesia,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1998 hal 8-9
[3] J.
G. S. S. Thomson, “Worship” in J. D.
Douglas (eds), The New Bible Dictionary
(London: Inter Varsity Press, 1982), hal.1340
[4]
Matt Redman, Menyembah dalam Roh dan
Kebenaran (Yogyakarta: Andi, 2010), hal.83
[5]
Andrew Brake, Spiritual Formation: Menjadi
Serupa dengan Kristus (Bandung: Kalam Hidup, 2014), hal.23
[6] G.
Barna, Mengejawantahkan Visi ke dalam
Aksi (Jakarta: Metanoia, 1998), hal. 66-83
[7] W.
R. Bowie, “Exposition of the Gospel
According to St. Luke” in G. A. Butrick et.al. (eds), The Interpreter’s
Bible, Vol. 8 (Nashville: Abingdon Press, 1991), hal. 89-90.
[8] J.
Ch. L. Abineno, DOA Menurut Kesaksian
Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hal. 1-2
[9] P.
M. Senge, The Fifth Dicipline (New
York: Dobleday Currency, 1990), hal. 10, 14
[10]
Balasuriya., “Theology Siarah”(Jakarta;
1994, BPK Gunung Mulia), hal. 261
[11] Sejarah Peribadahan Orang Kristen Merupakan
Proses take and give anatara Agama dan Budaya, bdn, Chupungco. A.J.,
“Cultural Adaptation of Liturgy”. (USA Paulist Press; 1982), hal.3
[12]
Burkhart. J.E, “Worship”. (A
Searching Examination of the Liturgical Expirience), (1992; 17), Westminster
Press, Philadelphia, bnd, Dyrness, W., (1992: 123), BPK GM
[13]
Alceste Atella in “Hand Book for
Liturgical studies”, edited by Chuoungco, (1998: 4, 5), The Liturgical
Press, Collegeville Minnesota.
[14]
Crichtone J. D, “The Church Worship”
(1964; 27), bnd. White. J.F., “Pengantar
Ibadah Kristen” (2002; 12), Jakarta, BPK Gunung Mulia
[15]
Senn. F.C., “Christian Worship and its
Cultural Setting” (1983; 39), Fortress Bnd. Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy” (1982;
6-9), USA Paulist Press. Dimensi pendidikan dari ibadah ini juga dianut oleh Calvin,
bnd. Van den End., “Enam Belas Dokumen
Dasar Calvinisme”, (2001;410-412) Jakarta. BPK Gunung Mulia
[16] Bnd.
Schreiter. R.J., “Constructing Local
Theology”, (New York: 1991, Orbis book, Maryknoll), hal.43
[17] Olst,
E.H. Van den End., “Enam Belas Dokumen Dasar
Calvinisme”, (Jakarta: 1996, BPK Gunung Mulia), hal.56
[18] Dyenes,
W., “Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian
Lama” (Jakarta; 1992, BPK Gunung Mulia), hal. 123-124
[19] Oehler.
G., (1880; hal. 264)
[20] Reimer,
G., “Cermin Injil, Ilmu Liturgi”,
(OMF; 2003), hal. 28-39
[21] Erey.
M., “Liturgical Worship”, (church
Publishing House; 2002) hal. 13
[22] Bnd.
Hesselgraf., “Kontekstualisasi, Makna,
Metode dan model”, (Jakarta; 2002, BPK Gunung Mulia), hal.21
0 Comments