PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelaan
Iman Kristen selalu merujuk kepada suatu pribadi yang diimani dan dipercayai
sebagai Allah yang Esa dan sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tentu dasar dari
argument ini beralaskan pada Alkitab yang menjelaskan hakikatnya adalah firman
Allah. Alkitab memberikan penyataan
bahwa Yesus Kristus Tuhan dan Yesus sendiri menjunjung tinggi otoritas Alkitab.
Dua hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Yesus dan FirmanNya,
masing-masing memberikan kepastian yang benar dan juga meneguhkan dengan bukti
yang pasti.
Alkitab mengatakan secara gamblang bahwa
Yesus Kristus sebagai Anak Allah, walaupun dalam eksistensiNya sebagai Anak
Allah banyak orang memperdebatkan dan tidak menerima serta meragukan penyataan
yang demikian. Banyak oknum yang berpandangan bahwa Alkitab hanya sebagai
objek hukuman dan juga suatu karya fiksi
atau legenda kuno. Dengan pandangan ini banyak yang tidak percaya menolak Yesus
sebagai Anak Allah, berusaha menafsirkan teks-teks Alkitab untuk mendukung
argumen dan cara berpikir yang liberal sehingga pikiran dan hati para kaum ini
tidak memberikan ruang untuk menganalisi lebih jauh. Yang lebih ekstremnya lagi
adanya usaha untuk memanipulasi kebenaran dengan mengatasnamakan teks Alkitab.
Cara inilah yang dilakuka untuk mendapatkan spekulasi kebenaran untuk menolak
Yesus sebagai Anak Allah.
Penyataan Alkitab mengenai Yesus Anak
Allah tidak dapat disanggah tidak dapat dipatahkan dengan argument yang hanya
asumsi belaka serta menolaknya tanpa dalil atau penyataan yang kuat dari sumber
yang sama. Kebenaran mengenai teks Alkitab tentang Yesus Anak Allah telah nyata
dan tak terbantahkan. Implikasi yang bisa dipetik adalah Yesus Kristus Tuhan
yang hidup dan berdaulat tidak akan pernah bertentangan atau melawan teks
Alkitab yang menyatakan pribadi dan kehadiran Allah secara ontologis teologis
dan historis teologis. Fakta kebenaran dari Allah mengenai Firman yang menjadi
manusia atau Allah yang menjadi manusia berkarya dalam sejarah hidup manusia
hingga mati dan bangkit dari kematian.
Konteks Alkitab mengenai pemahaman ini
sangatlah bertentangan dengan paham orang-orang modern, tidak mau menerima
berdasarkan analisis sejarah positivis sehingga usaha yang diadakan dengan
membelokkan atau memanipulasi penyataan kebenaran Alkitab yang cenderung fiksi
atau mitos. Serta berusaha menggantikannya dengan kebenaran yang hanya
fregmentasi atau hal yang bisa diterima bahwa Yesus hanyalah manusia biasa yang
sama dengan manusia ciptaan Allah lainnya.
Sebagai makhluk hidup yang diciptakan
oleh Tuhan, memiliki kesempurnaan secara fisik, namun hanya dengan keinginan
dan ketidakbisaan mengendalikan keinginan itu, kecenderungan hati dan pikiran
manusia berbuat jahat oleh pemikirannya. Sama halnya dengan manusia yang sangat
sulit untuk mengerti tentang Alkitab, tanpa iman dan penyerahan diri maka
pemikiran dan pemahaman sangat mungkin melakukan kekeliruan dan kesesatan.
Manusia memiliki rasio alamiah yang memiliki keyakinan rasional yang
bertanggungjawab terhadap setiap pertanyaan yang berkaitan dengan entitas
moral. Rasio alamiah seseorang terhadap suatu kebutuhan kebenaran tetap dalam
batas dan ruang waktu. Kebenaran bukan diciptakan atau diadakan atau dimanipulasi.
Kebenaran yang benar harus memiliki definisi istilah konseptual yang memberikan
pemahaman dan penjelesan yang kontekstual. “Pada dasarnya, untuk bernalar menurut
cara Aristoteles yang sesungguhnya, kita perlu menerjemahkan segala sesuatu ke
dalam istilah-istilah konseptual.”[1]
Kebenaran ditemukan berdasarkan intepretasi berdasarkan perseuposisi dan
sebaliknya tidak pernah merupakan suatu pemahaman tanpa preseuposisi yang
disodorkan kepada manusia.[2]
Kalau
ditinjau dari pemahaman Teologis dari beberapa kepercayaan dan aliran maka ada
berbagai pemahaman dan kepercayaan yang berbeda dan sekaligus sebagai bahan
untuk membantahkan apa yang ditulis dalam teks Alkitab. salah satu yang
ditinjau dalam kitab Islam mengenai isu ini tertulis di Al-Quran, Surat 112
(Surat Al-Ikhlas) berkata demikian, “Katakanlah : Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan, yang kepadaNya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak
dan tiada pula diperankkan dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia.”
Pemahaman Islam selalu memiliki pemahaman bahwa yang dimaksud Anak Allah itu
dipahami secara biologis. Konsep pemahaman teologis islam memiliki paham bahwa
Tuhan yang sama disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen
dan Yahudi. Dalam hal ini ada persamaan dalam satu sisi namun perlu diketahui
bahwa harus percaya apa yang dikatakan dalam teks Alkitab. Maka isu ini yang
mendasari pengkajian teori serta judul ini dikaji lebih dalam berdasarkan
pemahaman yang sesuai dengan teks Alkitab yang benar.
1.2 Rumusan Masalah
·
Apakah Anak Allah memiliki Hakikat yang
sama dengan Allah?
·
Mengapa Isu Anak Allah menjadi Pusat
Perdebatan dari beberapa ajaran?
·
Bagaimana menjelaskan pemahaman yang
benar mengenai Anak Allah sesuai dalil teks Alkitab?
·
Bagaimana mempengaruhi pemahaman manusia
yang memiliki ajaran menyimpang dari teks Alkitab?
1.3 Tujuan Penulisan
·
Mengetahui Hakikat dari sebutan Anak
Allah
·
Mengetahui isu Anak Allah sebagai pusat
perdebatan dalam ajaran agama
·
Mengetahui penjelasan dari pemahaman Alkitab tentang Anak Allah
·
Mengetahui cara mempengaruhi pemahaman
manusia yang memiliki konsep yang salah mengenai Anak Allah.
PEMBAHASAN
2.1 LANDASAN
TEORI
Defenisi Allah
Kata
Allah dalam bahasa Arab “اللّٰÙ‡” berarti berhak disembah. Dalam bahasa Aram “El”
dan bahasa Kanaan yaitu “Elohim”. Dalam eksistensi sebagai Allah memimiki lima
konsep dasar yang mutlak ada dalam diri Allah yaitu:
· Allah
itu kekal, tidak berawal dan tidak berakhir (Keluaran 3:14, Ibrani 7:3, Wahyu
1:8, Wahyu 22:13)
· Allah
itu Esa (Ulangan 6:4, Yesaya 45:5,21; 1 Timotius 1:17)
· Allah
itu tidak berubah-ubah (Maleakhi 3:6, Yakobus 1:17)
· Allah
itu tidak ada persamaanNya (Mazmur 86:8, Yesaya 40:25, 2 Samuel 7:22)
·
Allah itu mahakuasa, khalik (pencipta)
langit dan bumi serta segala isinya yang kelihatan maupun tidak (Kejadian
1:1-31).
Allah juga memiliki tiga kodrat dalam
Iman Kristen yakni;
·
Mencipta: Kuasa Mencipta dalam
Perjanjian Baru disebut oleh Yesus dengan predikat BAPA (Matius 11:25, Lukas
10:21)
·
Berfirman: Kuasa berfirman (dan
bertindak) ini dalam Perjanjian Baru disebut oleh Yesus denngan Predikat Anak
(Yohanes 1:14, Yohanes 1:18, Matius 16:16)
·
Roh Allah: Roh Allah yang berkuasa
memelihara, mengayomi, membibing dan menolong ini dalam Perjanjian Baru oleh
Yesus disebut dengan Roh Kudus (Yohanes 14:16-17, Yohanes 14:26, 15:26)
2.2 Pandangan-padangan mengenai Yesus
Anak Allah
Ada
beberapa pandangan mengenai kehidupan Yesus. Ada kelompok yang meragukan Yesus
dan ada juga kelompok yang meragukan keilahian Yesus dengan berdasarkan
preuposisi-preuposisi dan klaim-klaim kebenaran yang diterima untuk menguatkan
pendapat dari para kelompok tersebut. Tujuannya adalah menghadirkan
konseptualitas Yesus dalam konteks dekonstruksi-dekonstruksi logis yang
kelompoknya menganggap sebagai suatu kebenaran murni. Kaum ini yang menerima
atau menolak salah satu kodrat Yesus berusaha memahami Yesus di luar konteks
Yesus dalam Alkitab.
Asumsi
dan tanggapan kaum ini mengatakan bahwa Alkitab telah dimanipulasi atau
diselewengkan berita kebenarannya oleh orang-orang Kristen atau Alkitab itu
sebuah kesaksian mitos yang selanjutnya disakralisasikan dan diterima sebagai
buku yang berotoritas dari Allah. Akan tetapi, upaya untuk mengubah teks dan
ajaran Injil telah dimulai berabad-abad lalu, tak lama setelah masa Yesus.[3]
Injil yang diilhamkan Allah ternyata telah banyak berubah dan diragukan
kebenaranya. Objektivitas historis bukanlah suatu rekonstruksi faktualitas masa
lampau yang tidak terulang, melainkan kebenaran masa lampau dalam sinar terang
masa kini. Membayangkan bahwa orang dapat mempunyai objektivitas historis tanpa
suatu perspektif adalah mimpi.[4]
Ada
kelompok Yesusanitas, kaum ini percaya
bahwa Yesus adalah guru/rabi, Ia tidak mati disalib dan kebangkitanNya adalah
ahistoris yang berpendapat bahwa “Perjanjian Baru asli telah sangat dirusak
oleh para penyalin sehingga tidak terpulihkan”.[5]
Pandangan kaum ini percaya bahwa Kitab Perjanjian Baru kanonikal telah sangat
rusak dan tidak dapat menjadi sumber primer Kristianitas. Kriteria penilaian
apakah suatu pernyataan kanon adalah sah atau tidak adalah berdasarkan
pertanyaan apakah suatu teks berpusat pada Kristus (Kristosentris),apakah teks itu berasal dari ajaran para rasul (Apostolic), dan apakah sesuai dengan
kesaksian Roh Kudus di dalam hati orang percaya (Autopistic).
Liberalisme Theology
Paham
ini menolak segala yang hakekatnya supranatural atau supra alamiah/adi kodrati
yang dikategorikan mitos atau mitologi yang irasional. Hal itu tidak perlu
dipercaya mengajarkan bahwa Yesus hanya sebatas teladan ideal dan sumber dari
kesadaran akan Allah yang mengatasi dosa. Artinya untuk kita mampu mengatasi
dosa maka kita wajib melihat teladan
ideal yang Yesus berikan untuk manusia mengikutiNya. Yesus dipahami sebagai
bahasa simbol yang diberikan kepada manusia ciptaan sehingga manusia dapat
selamat karena meneladani Yesus. Yesus dirokonstruksi berdasarkan pola
pemikiran filsafat bukan berdasarkan berita Alkitab, hakikatnya firman Allah.
Alkitab diterima sebagai laporan manusia yang terbatas tentang realitas
sejarah/historis yang selanjutnya menjadi dokumentasi historis dan tidak ada
kaitanya dengan ontologism teologis. Teologi Liberal mereduksi Alkitab
hakikatnya firman Allah menjadi perkataan manusia ciptaan pada umumnya.
Penyampaian identitas Yesus bukan dari Alkitab namun berasal dari konstruksi filsafat
yang menempatkan Yesus pada manusia ciptaan.
Kitab-Kiitab Apokrif dan Injil
Tomas
Ditemukan
di Nag Hammadi Mesir yang bersifat gnostic. Kemudian menjadi alat ukur untuk
mengukur kitab-kitab kanonikal (Perjanjian Baru). Menyatakan bahwa “Yesus bukan
sebagai Wahyu Allah yang eksklusif tetapi sebagai salah seorang perantara
hal-hal yang sacral”. Salah seorang perantara hal-hal yang sakral” yang
membantu untuk berhubungan dengan realitas spiritual dalam diri manusia dan
sekitarnya. [6]
Artinya hanya menerima konsep Yesus yang manusiawi dengan kesakralanNya dan
menolak konsep Yesus yang ilahi sebagai wahyu khusus Allah yang mengalami
kebangkitan secara historis literal. Berusaha memisahkan konseptualitas Yesus
sebelum Paskah atau identik dengan Yesus yang manusiawi. Dan setelah Paskah
identik dengan Yesus yang bangkit dan hidup.
Kelompok Borg berusaha memahami Yesus
dalam Perspektif historis berbeda dengan Yesus dalam Perspektif Kristus
iman/kerygmatis. Yesus historis yang memberikan teladan iman kepada Allah yang
monos/tunggal sehingga peninggalan teladan iman itulah yang menjadi fokus bagi
para pengikutNya dan bukan menjadikan Yesus dalam kemanusiaanNya sebagai Tuhan.
Yesus dalam kemanusiaanNya yang historis, dihadirkan dan dipahami dalam perspektif
manusia modern yang menolak intervensi Allah dalam dunia/alam semesta ini.
Proses penalaran manusia selalu dalam konteks menyejarah dan terikat dengan
satuan waktu “past, present, future,”. Pikiran
manusia berelasi dengan kesadaran empiris atau kesadaran reflektif.
Yesus Menurut Alquran
Dalam
perspektif Alquran Yesus adalah seorang nabi manusia dan utusan Allah yang
tidak pernah mengklaim sebagai Tuhan. Pernyataan ini berarti Al-Quran
menampilkan gambaran Yesus yang sesuai dengan sistem kepercayaan Al-Qur’an
bukan berdasarkan berita Injil yang kanonik. Dalam penolakkan ini Agama Muslin
memiliki pandangan bahwa “Yesus Tidak lebih sekedar seorang nabi
biasa”. Penolakan Muslin “Yesus adalah seorang nabi sama seperti nabi-nabi
lainnya. Yesus hanya datang untuk bangsa Israel. Muhamad adalah nabi terbesar
dan terakhir yang telah datang untuk seluruh umat manusia” (Sura 4:171; 5:75;
33:40; 43:59; 43:63-64). Beberapa pernyataan mengenai Yesus menurut data
Al-Qur’an yaitu:
·
Sura 3:45Ã Ia adalah yang
terkemuka di dunia dan di akhirat
·
Sura 4:158Ã Ia diangkat ke
surge (literal: kepada diriNya sendiri yaitu Allah) oleh Allah.
·
Sura 4:171Ã Ia adalah Mesias
(Kristus) “Firman Allah” sebuah roh dari Allah
·
Sura 5:113Ã Ia menciptakan
kehidupan, menyembuhkan yang sakit, dan membangkitkan yang mati.
·
Sura 19:19Ã Ia suci (tanpa
dosa)
·
Sura 19:20Ã Ia dilahirkan
dari seorang perawan
·
Sura 19:21Ã Ia adalah sebuah
tanda untuk umat manusia
·
Sura 19:34Ã Ia adalah Firman
Kebenaran
·
Sura 21:19Ã Ia adalah sebuah
tanda untuk semua orang yang ada di bumi
·
Sura 43:61Ã Ia memiliki
“pengetahuan akan hari akhir” (hari penghakiman)
·
Sura 43:63Ã Ia telah datang
dengan bukti-bukti yang jelas.
Penolakan Yesus Bukan Anak Allah
Penolakan
Muslim “Mustahil bagi Allah mempunyai Putra, seandainya demikian maka ia juga
pastilah punya anak-anak perempuan dan istri-istri. Allah itu Esa! (misalnya di
Sura Maryam 19:35). Pernyataan mengenai Yesus di dalam Al-Qur’an, dia sebagai
Nabi, rasul (posisinya), dan misinya yaitu berkhorbah dan menyembuhkan.
Penolakan Yesus Tidak Dapat Menjadi Tuhan
Penolakan
Muslim “Yesus bukan Tuhan. Ia adalah seorang manusia sama seperti kita semua.
Tuhan itu Esa; Ia tidak memiliki sekutu!” (Sura 5:19-20). Dalam Islam Ortodoks,
pengajarannya menekankan bahwa Allah tidak akan dan tidak dapat menyatakan
diriNya sebagai seorang manusia. Wahyu Allah hanyalah sebuah pesan yang,
berdasarkan Islam telah dinyatakan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad dan
kemudian dicatat kata demi kata dalam tulisan. Manusia Yesus Kristus adalah
Wahyu Tuhan, dan juga sebagai firman kekal Tuhan dalam wujud tubuh manusia,
tidak cocok dengan konsep pewahyuan Islam. Hal ini dianggap sebagai dosa
penyembahan berhala (syirik) yang dalam Islam dikategorikan sebagai dosa yang
terburuk dan tidak bisa diampuni.
Penolakan Sebutan Anak Allah
Semua orang Islam tidak akan mau menerima
dan mengaku kalau Yesus (Isa) itu disebut Anak Allah, karena berdasarkan Al
Quran:
“Lam
yalid wa lam yuu lad”, “Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”.
“Wa
annahuu ta’aalaa jaddu rabbinaa mattakhadza shokhibataw walaa walada”. “Dan
bahwasanya Maha Tinggi Kebesaran Tuhan kami, Tuhan tidak beristri dan tidak
Beranak”. Qs. 112:3 dan Qs. 72:3
Dengan berpegang pada dua nats ayat di
atas itulah orang Islam menolak bahwa Yesus (Isa) disebut Anak Allah.
Orang Islam beranggapan bahwa Allah
mempunyai anak secara biologis atau secara fisik. Sehingga demikian kalau Allah
itu punya Anak Allah pasti punya istri. Padahal iman orang Kristen yang
Alkitabiah di seluruh dunia tidak beranggapan dan berkeyakinan seperti itu.
Kalau orang Kristen mengatakan Yesus disebut Anak Allah itu adalah kata majasi
atau kata analogis (kiasan, perumpamaan) yang bersifat rohani sebab wujud
hakekat Tuhan itu Roh atau gaib. Yohanes 4:24; 2 Korintus 3:17: “Bahwa Tuhan
itu adalah Roh”.
Kalau orang Islam beranggapan bahwa Tuhan
orang Kristen itu wujud hakekatnya manusia terus kawin dengan manusia lantas
punya anak yang bernama Yesus. Pandangan ini sangat ambigu dan menghujat dalam
perspektif Kristen. Jadi jelasnya bahwa Anak Allah itu menyatakan pra
keberadaanNya pada hakekatnya atau wujud esensiNya adalah gaib atau tidak
nampak oleh mata kepala siapapun, tertulis dalam teks dan lafad Arabnya Qs.
3:45, Qs. 4:171 dan HSB 1496 di dalam teks itu tersirat pernyataan “Isa itu
adalah utusan Allah, Kalam Allah dan Roh Allah”.
Yesus disebut Anak Allahi itu yang pada
hakekatNya adalah Firman Tuhan yang gaib (tidak nampak) karena melekat
sehakekat dalam dzat diri Ilahi keluar menjadi wujud manusia itulah Anak Tuhan
yang tunggal atau Firman yang hidup atau dengan kata lain Firman yang menjadi
bernama Yesus Kristus atau Isa Almasih atau juga disebut Yeshua Hamasiah.
Yohanes 1:14 “Firman itu telah menjadi manusia”. Orang Islam juga mempunyai
keyakinan bahwa Firman Allah yang berwujud tulisan itu disebut Al Qur’an atau
dengan kata lain Al Qur’an itu adalah Kalam Allah.
Pandangan-padangan lain mengenai Yesus
bahwa “Tidak mungkin Tuhan bisa menjadi manusia”. Jawabannya adalah kebalikan
dari pernyataan itu “Justru malah tidak mungkin Tuhan tidak bisa jadi manusia”.
Kenapa tidak langsung mempergunakan istilah kata “Kalam Allah atau Firman
Allah”. [7]
Yesus dalam perspektf literatif,
fungsional dan ortopraksi, menerima bahwa bukan Yesus yang memiliki kodrat
Ilahi dalam refleksi teologis. Hasil yang diperoleh adalah konsep Yesus yang
lepas dari laporan narasi kitab Injil kanonik yang historis dan
teologis/imanen.
Uraian selanjutnya berorientasi pada
berita Yesus Kristus Tuhan dalam perspekif Yesus adalah “Anak Allah” dalam
konteks Apologetika terhadap konsep Allah tidak Beranak dan tidak Diperanakkan.
Yesus adalah Anak Allah dalam perspektif Injil Kanonik dan memberikan kepastian
yang teguh bahwasanya Yesus yang bangkit, hidup dan diakui oleh Umat Kristen
sebagai Kristus Tuhan dan menjadi prinsip iman Kristiani sepanjang masa.
2.3 URAIAN
FOKUS PEMIKIRAN
Konsep Anak Allah
Presuposisi dalam uraian
penjelasan ini adalah “Kebenaran Allah tidak tergantung pada pengalaman atau
interpretasi individu atau kelompok manapun, batapapun pengalaman dan
interpretasi itu terasa kuat dan berpengaruh besar secara budaya”. [8]
Pengalaman ini harus dilakukan analisis, tradisi perlu ditelisik dan refleksi
atas tradisi perlu dilakukan secara teratur.
[9]Artinya,
segala yang berkaitan dengan suatu penyampaian fakta berdasarkan rasionalisme
maupun empirisisme masih terbuka untuk dikaji ulang berdasarkan data-data yang
masih banyak belum ditemukan atau belum tersentuh oleh proses analisis dan
sintesis dari suatu interpretasi. Fakta rasional dan empiris dibangun
berdasarkan presuposisi-presuposisi yang jelas sehingga menghasilkan landasan
epistemology yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konsep Anak Allah (istilah PL: ben
ha Elohim. PB: Huis tou Theou) dipahami secara
ontologism/reflektif teologis bukan secara harafiah fungsional. Artinya,
istilah Anak Allah memiliki makna dalam persepktif kekekalan yang bebas dari
hukum-hukum dan simpulan aksioma-aksioma (sistem teologis) yang terbatas.
Istilah Anak Allah digunakan dalam konteks relasi ontologism Allah Trinitas,
tiga pribadi dalam satu hakekat Ilahi yaitu Yesus Kristus Tuhan, yang memiliki
derajat keilahian yang sama dan berpribadi bukan dalam konteks
ordinasi-subordinasi satu terhadap yang lain dan bukan dalam perspektif Allah
yang melakukan emanasi untuk mendapatkan derivasi keilahian yang lebih rendah.
Pada tradisi Perjanjian Lama, konsep
Anak Allah dikenakan kepada makhluk-makhluk surgawi/supra-natural seperti dalam
Kejadian 6:2 “Maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia
itu cantik-cantik…..”, Ayub 1:6 “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN…”, Ayub 2:1 “Pada suatu
hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN…..”, Mazmur 82:6 “Aku sendiri
telah berfirman : “Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu
sekalian.” Identifikasi anak-anak Allah mengacu pada malaikat yang saat itu
malaikat dipahami sebagai makhluk mitos. Penggunaan-penggunaan ini sering
disebut mitos, karena malaikat-malaikat dianggap sebagai makhluk mitos. Tetapi
tidak ada alasan untuk membantah keberadaan makhluk-makhluk seperti itu dan
penggambaran mereka sebagai anak-anak Allah menunjukkan sifat rohani mereka. [10]
Ungkapan anak-anak Allah dengan arti
makhluk supranatural juga digunakan dalam (Ulangan 32:8 pada LXX dan Ayub 38:7”[11]
artinya, istilah dan konsep Anak Allah telah diterima dalam tradisi kitab-kitab
Perjanjian Lama. Pemahaman Anak Allah dikaitkan dengan kekuatan yang
supranatural yang dimiliki oleh pribadi yang dimaksud. Konsep Anak Allah
mengindikasikan adanya relasi yang unik antara Allah yang berpribadi dengan
objek relasiNya. Hal itu senada dengan Riyadi yang mengutip D. R. Bauer dalam
bukunya “Son of God” berkaitan konsep Anak Allah berpendapat bahwa, “Ketika
digunakan untuk menyebutkan orang (bangsa Israel) atau raja teokrasi, sebutan anak
Allah menekankan status kepemilikkan yang special, pemilihan untuk sebuah tugas
tertentu dari Allah, pengalaman akan kasih, pengampunan, perlindungan, dan
rahmat Allah.”[12]
Artinya konsep Anak Allah menegaskan tentang sesuatu hubungan teologis yang
pada waktu bersamaan memiliki kewibawaan dan otoritas Ilahi serta berhak
menerima janji-janji Allah. Pengurapan dalam Perjanjian Lama diberikan kepada
seseorang yang menerima mandate Ilahi dari Allah serta Allah lah yang menjadi
Bapa mereka, mandate ini diberikan kepada: Raja, Nabi, Imam, hal itu berarti
konsep Anak Allah secara implisit ada dalam konsep Mesias PL. Dalam PL tidak
menggunakan sebutan anak Allah ini secara spesifik merujuk kepada pribadi
Kristus. Juga dalam PL tidak menyebutkan Mesias sebagai Anak Allah.” Anak Allah
dan Mesias, dalam PL gelar ini mengungkapkan relasi khusus antara Allah dengan
manusia, khusus dengan raja yang adalah wakil dan representan Allah.[13]Penggunaan
istilah konsep Mesias dan Anak Allah tidak dapat disamakan, namun demikian
makna istilah Mesias dan Anak Allah sama-sama memiliki sifat teologis.
Pada masa peralihan dari PL ke PB
dalam konteks Yudaisme, istilah Anak Allah dan Mesias dapat diterima sebagai
istilah pengganti satu terhadap yang lain dan memiliki kecenderngan untuk
menerima Konsep Anak Allah itu identik atau sama dengan Mesias dalam satu
pribadi yang terpilih atau dipilih Allah. Penggunaan sebutan Anak Allah untuk
menyebut Mesias baru muncul dalam tradisi Yudaisme Palestina intertestamen,
misalnya dalam 1 Enoch 69,4-5; Jubille 1,24-25. Hal itu menjelaskan bahwa
Mesias adalah Anak Allah yang Mahatinggi
dan Anak Allah yang Mahatinggi adalah Mesias. Mesias ini dinantikan oleh
bangsa Israel yang mengalami perbudakkan pada saat kerjaan Romawi menjajah Israel.
Pengahrapan raja yang merupakan Anak Allah menjadi teguh dalam perspektif
pengharapan Mesianik. “Tidak ada alasan yang kuat untuk tidak menerima rahasia
mesianis sebagai satu fakta historis yaitu unsur penting dalam misi Yesus.
Rahasia kemesiasan itu dapat disamakan dengn rahasia kerajaan Allah. [14]
Pada masa Perjanjian Baru,
personalitas Mesias dan Anak Allah tertuju pada pribadi Yesus. Yesus adalah
Anak Allah meneguhkan esensiNya sendiri. Secara antologism, Yesus memiliki
kodrat Ilahi. Pemaknaan Anak Allah bukan dalam struktur hierarkhi atau emansi
Allah sebaliknya dalam konteks relasi historis temporer. Hal itu sesuai dengan
laporan Injil Matius 16:16 “Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias,
Anak Allah yang hidup.”
Konsep Anak Allah menurut Simon Petrus
(Matius 16:16) menyatakan Yesus sebagai Raja yang diurapi Allah dan memiliki
identitas Anak Allah. Berdasarkan hal itu, “Tidak dapat diragukan bahwa
orang-orang Kristen mula-mula yakin bahwa Yesus adalah Anak Allah. Orang
Kristen pada masa itu percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah dikaitkan dengan
kelahiranNya (Intervensi Roh Kudus), PembaptisanNya (suara dari langit yang
diterima sebagai suara Allah tentang pengakuan Yesus adalah Anak yang Terkasih)
dan kebangkitanNya dari kematian (Yesus adalah Allah dan kebangkitan sebagai
proklamasi otoritasNya yang berdaulat).
Injil Yohanes menyatakan bahwa Yesus
sering menyebut diriNya sebagai Anak Allah (Yohanes 5:25, 10:36, 11:4….”Sebab
oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” “Dengan kata lain: Yesus Kristus
ialah Allah yang menyatakan diri. Maka dalam pemakaian Yohanes, gelar Putra
Allah menunjukkan Yesus historis yang merupakan pernyataan diri Allah dan
memperkenalkan Allah kepada mereka yang percaya.” Anak Allah merupakan
identifikasi Yesus, Allah yang menyatakan diriNya secara historis kepada orang
percaya. Allah yang hadir dalam eksistensi yang terbatas namun tidak
menghilangkan esensi keilahianNya yang tak terbatas.
Konsep Anak Allah yang diletakkan pada
Yesus bukan saja menegaskan eksistensi & esensi ontogism yaitu kodrat
IlahiNya, namun juga menegaskan kontiunitas relasi dalam konteks historis yang
unik dengan BapaNya hingga menerima konsekuensi penderitaan sebagai Hamba
Allah/YHWH yang taat dan tunduk pada Bapa-Nya.
Pada perspektif kitab Kisah Para
Rasul, gagasan Yesus sebagai Anak Allah selalu disampaikan kepada jemaat
Kristen mula-mula. Kisah Para Rasul 9:20, Paulus menyatakan bahwa Yesus adalah
Anak Allah. Paulus menyebut Yesus dengan Tuhan
Yesus Kristus atau Yesus Kristus Tuhan dan sebutan yang Yesus terima
merupakan tradisi penyebutan yang dikenal luas oleh jemaat Kristen pada masa
itu. “Keyakinan orang-orang Kristen mula-mula bahwa Yesus adalah Anak Allah.”
Hal itu tidak dapat diperdebatkan karena jemaat Kristen pada masa itu telah
menerima tanpa harus diperdebatkan maknanya atau melakukan manipulasi makna
kata. Konsep Anak Allah tidak dapat dihilangkan oleh proses inkarnasi.
Sebaliknya proses inkarnasi menguatkan bahwa sejatinya Yesus memiliki kodrat
Ilahi. Tanpa kodrat Ilahi, inkarnasi tidak akan terjadi karena subjek pelakunya
adalah Allah sendiri dan Allah salih untuk melakukan intervensi teknis
berkaitan dengan kehadiranNya dalam dunia yang terbatas ini.
Konsep Anak Allah dalam perspektif
Paulus dikaitkan dengan perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit. Yesus yang
bangkit karena identitas sejatinya Yesus adalah Anak Allah. Tanpa kebangkitan
Yesus dari kematian, identitas kodrat Ilahi Yesus tidak dapat dikomunikasikan
kepada jemaat Kristen pada masa itu. “Kristus adalah pribadi supranatural
sepenuhnya, Anak Manusia dan Anak Allah. Sifat dan karyaNya membenarka klaimNya
itu.”
Konsep Anak Allah yang melekat pada
Yesus, sejatinya memberikan penguatan iman Kristen yang kuat karena terikat
dengan pribadi Allah yang hidup.
2.4 KONSEP ALLAH TIDAK BERANAK DAN TIDAK
DIPERANAKKAN
Perspektif
Kristiani tentang Allah di dasarkan pada presuposisi bahwa pengetahuan tentang
Allah tidak dapat diketahui secara tuntas. Entitas Ilahi memiliki kedaulatan
dan otoritas authentisitas yang mutlak, yang mana di luar diriNya tidak ada
yang dapat menggugat Allah. Allah dalam eksisensinya yang memahami dengan
sempurna. Di lauar Allah, pemahaman terhadap diriNya dalam konteks fragmentaris
inkonsistensi. Kesempurnaan Allah meneguhkan kedaulatanNya sebagai Allah yang
berpribadi, yang ada bukan karena diadakan atau dijadikan ada, Allah yang ada
tanpa melalui proses menjadi atau proses hadir Karena Allah tidak terikat oleh
waktu, ruang dan gerak. Allah yang transendeng dan imanen meneguhkan bahwasanya
Ia adalah Allah yang memiliki eksistensi dan esensi mandiri. Idenifikasi yang
berbeda dengan segala hal yang diciptakanNya. Allah adalah kebenaran yang
memiliki eksistensi yang absolut.
Tradisi
PL dalam Keluaran 3:4 “Firman Allah kepada Musa: AKU ADALAH AKU.” Lagi
firmanNya “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah
mengutus aku padamu.” Allah menyatakan diriNya kepada manusia (Musa) tanpa
dibatasi oleh petunjuk waktu yang sering kali dikenakan pada objek ciptaan
Allah. AKU ADALAH AKU meneguhkan bahwa Allah adalah konsisten dengan
kemandirianNya dan Ia tidak terikat dengan suatu batasan periodisasi waktu.
Allah yang menyatakan diriNya adalah Allah yang hadir dalam kekinian kekal dan
segala hal terikat dengan kehadiranNya secara langsung atupun tidak langsung.
Allah berdaulat atas segala hal yang ada dan kedaulatanNya dinyatakan dan
control Ilahi.
Berdasarkan
Injil Yohanes 5:24, “Allah itu Roh……..” konsep Allah adalah Roh telah ada dalam
PL dengan istilah Roh Allah (Ruakh Elohim/YHWH/Adonai). Bangsa Israel percaya
bahwa Allah dalam wujud sejatinya adalah immateri/tak terlihat. Allah adalah
Roh, menegaskan bahwa Ia adalah pribadi yang tidak terikat dengan waktu dan
tempat, Ia sejatinya tidak berbentuk (2 Korintus 3:17).
Penyataan Allah adalah Roh, jelas
memiliki makna yang tidak perlu diperdebatkan lagi karena eksistensi Allah.
Dalam Kejadian 1:1 tindakan Allah menegaskan bahwa Ia ada sebagai pribadi
pencipta alam semesta yang mutlak dan segala yang ada terikat dengan diriNya.
Alkitab melaporkan bahwa Allah Pencipta sejatinya adalah Roh/Ruakh yang
immateri, Identifikasi Roh/Ruakh yang immateri. Adalah pengakuan Arius seorang
presbiter dari Alexandria yang mengatakan, “Kami mengaku satu Allah yang
satu-satunya kekal, yang satu-satunya tidak diperanakkan, yang satu-satunya
tanpa awal, yang satu-satunya benar, yang satu-satunya tidak dapat mati, yang
satu-satunya bijaksana, yang satu-satunya baik, yang satu-satunya Tuhan, yang
satu-satunya adalah hakim bagi semuanya. [15]
konsep Arius ini menegaskan bahwa ia hanya percaya dan meyakin Allah yang
transenden tidak imanen.
Allah
tidak beranak dan tidak diperanakkan, merupakan suatu kebenaran ontologism
teologis yang meneguhkan bahwasanya Allah adalah Roh tidak terikat oleh tatanan
hukum keterbatasan yaitu hukum-hukum alam semesta atau hukum natural yang salah
satunya adalah regenerasi atau beranak cucu. Pada dimensi kekekalan, Allah
berdaulat atasnya tidak akan terjadi suatu proses sebab akibat (Proses
regenerasi/beranak). Jadi Allah itu adalah Roh, tidak dalam perspektif
melahirkan Anak Allah yang diwujud-nyatakan pada Yesus yang Allah tidak
dimengerti berdasarkan entitasNya dari Allah yang melahirkan atau beranak,
terikat pada proses kejadian/kronologi peristiwa dalam perspektif rasionalis
teoritis postifistik. Sebaliknya harus dipahami berdasarkan presuposisi dalam
perspektif emosional spiritual yang berbahasa teologis dengan orientasi pada
kebenaran iman yang terikat pada wahyu Ilahi. Kebenaran iman tidak
menghilangkan kebenaran rasional, sebaliknya kebenaran rasional bukan menjadi
orientasi kebenaran yang mutlak hingga kebenaran iman dikosongkan.
Konsep
Yesus (Anak Allah) kita tidak memiliki standar ukur yang sahih di luar Alkitab
yang hakikatnya firman Allah. Allah dan Alkitab, firmanNya menjadi dasar suatu
kebenaran iman dibangun. Alkitab menjadi sumber yang sahih untuk mendapatkan
konstruksi penalaran tentang Allah yang dinyatakan oleh Yesus Kristus Tuhan,
Allah yang menjadi manusia tidak pernah dan tidak akan mampu pikiran manusia
memberikan kesimpulan final yang logis rasional.
2.5 KONSEP
ANAK ALLAH SEBAGAI APOLOGETIKA IMAN KRISTEN
Matius
1:20 “Tetapi…..sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.
Lukas 1:32 “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha
Tinggi….” Berdasarkan perspektif iman kristen yang bersumber pada Alkitab wahyu
Allah, Yesus Anak Allah meneguhkan suatu relasi yang unik yang terjadi antara
Yesus dan Allah BapaNya. Relasi yang dianalogikan dalam relasi Bapa – Anak tanpa
memberikan makna tafsir dalam perspektif keturunan. Relasi itu dinyatakan pada
Matius 11:27, Markus 14:36, Lukas 10:22, Yohanes 10:15, 30, 14:9-11, ayat 11
“Percayalah kepadaKu, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau
setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.
Perspektif
iman Kritiani tentang Yesus, Anak Allah bukan berdasarkan makna rasionalis
teoritis yang harus menghasilkan konklusi rasionalis logis (Anak Allah berarti
dilahirkan atau diperanakkan oleh Allah atau harus terjadi melalui proses
regenerasi alamiah seperti proses kelahiran manusia atau ciptaan lain. Anak
identic dengan keturunan, keturunan berarti terjadi proses
melahirkan/memperanakkan), namun dipahami dengan presuposisi iman kepada Yesus,
Anak Allah yang bersumber pada Alkitab sehingga tidak memaksakan sistem
penalaran untuk bertindak sebagai hakim yang memutuskan benar atau salah,
rasional atau irasional, logis atau ilogis terhadap konsep Yesus, Anak Allah.
Konsep
Anak Allah tidak berorientasi pada makna bagaimana cara berada, melainkan
berorientasi pada unitas transcendental yaitu kualitas relasi Ilahi yang
dimiliki Yesus dan BapaNya. Berdasarkan iman terhadap kedaulatan Allah, konsep
Yesus Anak Allah sejatinya tidak dalam konteks debatable bahkan cenderung untuk
menghukum Alkitab sebagai karya fiksi. Sebaliknya Allah sahih bertindak dalam
perspektif diriNya tanpa meminta ijin pada manusia. Mengakui kedaulatan Allah
yang sempurna namun menolak ide Allah yang menyatakan Yesus Anak Allah
merupakan proses inkonsistensi penalaran logis manusia. Sejatinya, manusia
harus menerima suatu perbedaan yang absolut anatara Allah Pencipta yang
berdaulat dengan manusia yang terbatas. Penyataan Yesus Anak Allah bukan
memisahkan antara eksistensi materi Yesus dan status pribadi/personal Anak
Allah.
Yesus
Anak Allah dalam perspektif eksistensi materi berarti Allah melahirkan Yesus
Anak Allah (Allah Beranak) atau memiliki makna harafiah. Yang disebut Anak
Allah ini bukan makna kata jasmaniah. Sebab meskipun ada kalimat diperanakkan
dan Anak Tunggal. Yesus, Anak Allah sejatinya berkaitan dengan kodrat Ilahi.
Yesus Atau Anak Allah dan Bapa adalah satu. Tidak terjadi pemisahan anatara
Bapa dan Anak. Bapa tidak lebih eksis dari pada Anak dan Anak tidak lebih eksis
dibanding Bapa. Hakikat Allah adalah esensi Ilahi yang menyebabkan Allah adalah
Allah. Esensi Ilahi adalah kualitas Ilahi yang sempurna dan hal itu tidak dapat
dilihat, dipikirkan atau dimanipulasi rasio manusia yang terbatas. Kodrat Ilahi
Yesus dinyatakan dalam hidup dan karyaNya hingga mati dan bangkit. Sedangkan
kodrat kemanusiaan Yesus terbatas dan berhenti pada proses kematian.
Pada
dasarnya Alkitab telah memberikan kesaksian (Kejadian 6:2, II Samuel 7:14,
Mazmur 2:7, Lukas 1:32, Yohanes 1:1-2) yang tidak terbantahkan bahwasanya
Yesus, Anak Allah diterima sebagai manipulasi pernyataan. “Yesus mengerti
diriNya sendiri sebagai Anak Allah yang terkasih, yang dipilih Allah untuk
menghadirkan kerajaan Allah, dan pengampunan dosa. Pengertian mengenai siapakah
Yesus itu harus sesuai dengan pengertian Yesus sebagai Kristus. Konsep Anak
Allah yang Yesus terima didasarkan pada kesadaran eksistensial Yesus bukan
sesuatu yang dipaksakan atau diberikan oleh ciptaan. Anak Allah dijelaskan
sebagai “Suatu sistem yang dimiliki orang tidak bisa secara memadai
mendeskripsikan Allah dan dunia milikNya. [16]
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
pembahasan ini maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Allah itu tidak
pernah beranak dan juga tidak beranak melainkan Dialah yang ada dari kekekalan
dan sampai pada kekekalan telah menjadi manusia atau istilah lainnya “Firman
jadi manusia”. “Konsep mengenai Anak Allah” dalam perspektif Alkitab tidak
dapat dibantah dan telah memiliki kepastian secara tekstual yang disampaikan.
Anak Allah bukanlah dimengerti secara harafiah atau secara jasmani secara teks
yang tertulis tetapi dipahami dalam perspektif ontologim bahwa sebuah relasi
Ilahi. Dalam memahmi konsep ini ada dua hal yang dipahami dalam pribadi Yesus
sebagai Anak Allah (Ilahi&manusiawi) yang Yesus miliki. Kedua kodrat ini
milik Yesus memiliki acuan dalam menerima Yesus sebagai Anak Allah. Hanya Yesus
yang bisa memahami diriNya sendiri yang memiliki dua kodrat tersebut. Pola
pemikiran Pencipta sangat berlainan dengan yang temporer, parsial, dan
cenderung inkonsisten.
Berdasarkan
pengakuan orang beriman terhadap kedaulatan Allah, maka konsep Yesus sebagai
Anak Allah tidak diragukan keberadaanNya. Sejatinya Anak Allah merupakan
demostrasi keilahian Allah dalam dimensi terbatas yang tidak membutuhkan rasio
penalaran logis tetapi berdasarkan Iman untuk memahami rasionalitas Allah yang
sempurna. Sejatinya Allah yang dapat dengan tuntas dipikirkan manusia adalah
Allah jadian yang terbatas dan selalu terpenjara pada rasio manusia. Allah modernism,
akhirnya dalam kontekstualsasi keterbatasan pikiran manusia hendaknya Allah
dalam Yesus Kristus Tuhan yang melampaui segala akal selalu menguatkan dan
menyertai proses penalaran manusia yang selalu berorientasi pada Allah yang
dimuliakan dan bukan mencari esensi agar mendapat bagian dari kemuliaan yang
diberikan kepada Allah.
3.2 Daftar Rujukan
J. Donald Walters. Crises In Modern Thought, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal 73.
W. Poespoprodjo. Hermeneutika,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal 78
Louay Fatoohi, The Mystery of
Historical Jesus, (Bandung: MIzan, 2012), 559.
Albert Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), 12
Darrell L. Block &
Daniel B. Wallace, Mendengkol Yesus Dari TahtaNya (Jakarta: Gramedia, 2009),
262
Douglas
Groothuis, Jesus in an Age of Controversy (Jakarta: Verbum Dei Book, 2008
Paulus M, Islam Bertanya Kristen Menjawab,
Tangerang:januari 2005.
Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran, (Surabaya:
Mometum, 2003), hal 55
Stephen B. Bevans. Teologi dalam Perspektif Global
(Maumere: Ledalero, 2010) hal 190
Donald Guthrie. Teologi Perjanjian Baru 1 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995), hal 339
W. R. F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007), hal. 21
Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), hal 130
Georg Kirchberger,
Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), hal 151.
George Eldon Ladd,
Teologi Perjanjian Baru Jilid 1 (Bandung:Kalam Hidup, 1999) hal, 225
Bernhard Lohse,
Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hal 60
John M. Frame, Suatu
Analisis Terhadap Pemikirannya Cornelius Van Til (Malang: SAAT, 2002), hal 211
[1]
J. Donald Walters. Crises In Modern
Thought, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal 73.
[2]
W. Poespoprodjo. Hermeneutika,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal 78
[3]
Louay Fatoohi, The Mystery of Historical Jesus, (Bandung: MIzan, 2012), 559.
[4]
Albert Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 12
[5]
Darrell L. Block & Daniel B. Wallace, Mendengkol Yesus Dari TahtaNya
(Jakarta: Gramedia, 2009), 262
[6]
Douglas Groothuis, Jesus in an Age of Controversy (Jakarta: Verbum Dei Book,
2008)
[7]
Paulus M, Islam Bertanya Kristen Menjawab, Tangerang:januari 2005.
[8]
Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran, (Surabaya: Mometum, 2003), hal 55
[9]
Stephen B. Bevans. Teologi dalam Perspektif Global (Maumere: Ledalero, 2010)
hal 190
[10]
Donald Guthrie. Teologi Perjanjian Baru 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),
hal 339
[11]
W. R. F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal. 21
[12]
Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal 130
[13]
Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere:
Ledalero, 2007), hal 151.
[14]
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 1 (Bandung:Kalam Hidup, 1999)
hal, 225
[15]
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989), hal 60
[16]
John M. Frame, Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya Cornelius Van Til (Malang:
SAAT, 2002), hal 211
0 Comments