GERAKAN OIKUMENE YANG MEMBAWA DAMPAK BAGI KESATUAN UMAT BERAGAMA




        GERAKAN OIKUMENE YANG MEMBAWA DAMPAK BAGI KESATUAN UMAT BERAGAMA

 

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

            Gerekan oikumene merupakan manifestasi atau penampakan persekutuan orang Kristen dalam satu tubuh antara sesama denominasi gereja yang memiliki latar belakang dogma dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun internasional. Sebagai umat beragama haru memiliki nilai hidup normtif dalam menjalankan ritual keagamaan serta sikap toleran yang benar terhadap pluralis agama. Dalam bidang agama, kenyataan plural tidak dapat dihindari. Di seluruh dunia, agama – agama dari manapun asalnya hidup saling berdampingan sehingga menimbulkan dampak positif berupa terjalinnya kerja sama dan saling bentrok serta konflik – konflik yang menimbulkan pertumpahan darah. [1]Menganai hal ini imbasnya dapat ditemukan dalam skala nasional di Indonesia. Kepelbagaian adalah ciri bangsa Indonesia yang tidak dapat ditolak dan pungkiri. Hal ini dekenal dengan istilah (Suku, Agama, Ras dan Golongan). Menolak dari kepelbagaian ini maka sama halnya dengan menolak nenek moyang dan ibu serta diri sendiri. [2]

            Menyadari kenyataan yang sudah ada maka harus ada tindakan dalam menghadapi pluralism agama. Tindakan ini harus mengacu pada kepekaan terhadap adanya permasalahan di dalam masyarakat baik skala nasional maupun internasional. Banyaknya masalah – masalah yang ditimbulkan oleh pluralism agama sangatlah rawan mengganggu keselarasa dan keseimbangan hidup bersama sehingga adanya usah untuk mengupayakan kerukunan.[3]Sebagai umat beragama harus menjunjung tinggi nilai dan normative dalam ajaran kitab suci. Ide toleransi antar umat Bergama mulai didungungkan untuk menjaga harmoni kehidupan umat beragama. Konsekuaensi adalah masing – masing agama harus terbuka untuk melakukan autokritik, sekaligus terbuka untuk dikritik dan melakukan hubungan – hubungan dialogis dan konstruktif. Dalam hal ini nilai – nilai kemanusiaan dipertaruhkan dan makna nilai – nilai agama menjadi konkret. Dengan demikian antar umat Bergama bukanlah sebuah mimpi yang abstrak melinkan objektif dan konsrukti dialami manusia. Konsep gerakan oikumene makna dan cakupannya cukup signifikan bagi perspektif Kristen. Pada perkembangan berikutnya banyak orang – orang Kristen Evangelis yang memandang gerekan oikumene sebagai sebuah gerakan kompromi dan pelecehan terhadap keyakinan Kristen. [4]Gerakan oikumene memberi sumbangan yang besar dalam dunia yang penuh ketegangan ini, untuk saling mendekatkan semua golongan bangsa manusia yang berbeda latar belakang agama, sosial dan budaya, dan untuk menghilangkan pertentangan – pertentangan yang tajam di dunia ini. [5]Dalam Pembahasa ini maka penulis memimiliki tujuan yang sangat signifikan atas gerakan oikumene ini tidak memicu adanya pemikiran liberalism, radikal dari antar umat beragama. Gerakan ini harus memberikan dampak positif, menjadi berkat serta memanfaatkan peluang ini menjadi gerakan pemberitaan Injil secara halu tanpa melukai perasaan dari kepercayaan lain.

 

Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan Oikumene?

b.      Mengapa Oikumene sangat signifikan bagi kehidupan beragama?

c.       Bagaimana perkembangan dari gerekan Oikumene?

d.      Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari gerakan Oikumene?

 

Tujuan Penulisan

a.       Pembaca akan mengetahui yang dimaksud dengan istilah oikumen

b.      Pembaca mengetahui pentingnya oikumene dalam kehidupan beragama

c.       Pembaca mengetahui perkembangan gerakan oikumene

d.      Pembaca akan mengerti dan memahami dampak yang ditimbulkan oleh gerakan oikumene

 

 

 


 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Defenisi Oikumene

            Kata oikumene berasal dari bahasa Yunani “Oikos” berarti rumah dan “Mene” berarti diam atau tempat berdiam. Istilah oikumene adalah sebuah istilah yang digunakan dalam dunia politik. Istilah oikumene ini, menunjuk kepada keseluruhan tempat atau wilayah di bumi yang dihuni oleh manusia. Oikumene dalam zaman Yunani Kuno, di bawah pemerintahan Alexander Agung, ini menunjuk kepada keseluruhan bagian bumi yang di diami oleh manusia. Kata ini sering digunakan untuk menyebut daerah – daerah yang diami oleh orang – orang Yunani, sedangkan daerah yang tidak di diami oleh orang bukan Yunani tidak disebut Ekumene. Dalam bahasa Yunani Koine di bawah kekaisaran Romawi dan dalam PB, kata oikumene secara harafiah artinya dunia, namun yang dimaksud adalah dunia di bawah kekuasaan Romawi.

            Dalam surat Ibrani 2:5 kata oikumene ten mellousan memberikan makna yang merujuk kepada Kerajaan Yesus Kristus yang akan datang (dunia yang akan datang). Kata oikumene ini pada awal tidak memiliki makna yang berkaitan atau berhubungan dengan kehidupan gereja atau kekristenan. Dalam konsili pertama ini mengundang semua perwakilan gereja yang ada di wilayah kekaisaran atau wilayah kekuasaan Romawi, dan istilah Oikumene ini, disebut sebagai wilayah kekuasaan  Romawi, dan dalam kenyataan inilah dikenal sebagai “Seluruh Dunia” pada waktu itu. Dari sudut etimologi kata Oikumene ini berasal dari Yunani klasik yang memiliki arti dunia atau seluruh dunia (worldwide). Arti yang bersifat geografis tersebut bergeser lagi ke dalam situasi gereja untuk menunjukkan kesatuan dan keuniversalan iman Kristen.[6] Di dalam Alkitab, khususnya Perjanjian Baru kata oikumene dipergunakan beberapa kali. Kadang – kadang kata tersebut dipergunakan dalam arti lingkup politis, misalnya wilayah kekaisaran Romawi (Lukas 2:1; Kisah 11:28; 19:27; 24:5).

            Gerakan oikumene pada dasarnya mengidamkan terciptanya satu gereja yang universal dalam satu kesatuan (unity) yang terdiri dari berbagai ras dan bangsa. Tekanannya adalah pada upaya terciptanya suatu gereja yang satu iman dan satu tata ibadah maupun organisasinya. Tujuan utamanya adalah supaya terwujud suatu gereja yang esa berdasarkan Yohanes 17:21. Alasannya, oleh karena Tuhan dari gereja adalah satu (Efesus 4:4 – 6), maka gereja adalah satu. Kesatuan yang dimaksud dalam Yohanes 17:21 dapat mempunyai pengertian yang berbeda. Ada yang menafsirkan bagian tersebut sebagai keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Allah Bapa dan Allah Anak di dalam kekekalan. Kedua sifat kesatuan tersebut tekanannya bukanlah pada segi persamaannya, melainkan pada segi analoginya. Maksudnya adalah ketika orang percaya bersatu dalam Iman kepada Yesus Kristus dalam menghadapi dunia seperti halnya Allah Bapa dan Yesus bersatu menghadapi dunia ini. [7]

Sejarah Gerakan Oikumene

            Gereja Katolik dan Gerakan oikumene, sikap gereja Katolik Roma terhadap gerekan oikumenes ditentukan atas dasar pemahaman bahwa gereja yang benar adalah pengakuan imannya hany gereja yang dipimpin oleh Paus, sebagai wakil Kristus. Keesaan gereja selaku tubuh Kristus telah menjadi nyata dalam gereja Katolik Roma di bawah pimpinan pengganti Petrus wakil Kristus oleh sebab itu tidak perlu suatu gerakan oikumenes, karena keesaan gereja sudah ada dalam gereja Katolik Roma. Atas dasar doktrin ini, maka gereja Katolik Roma menentukan sikap:

·         Gereja Katolik Roma tidak mau ikut secara resmi dalam kegiatan oikumene

·         Kepausan gereja katolik Roma mengeluarkan beberapa surat keputusan yang menolak gerakan Oikumenis dan mempertegas ajarannya bahwa gereja Katolik Roma adalah satu – satunya gereja yang benar.

·         Paus juga melarang orang Roma Katolik untuk menghadiri Sidang DGD di Amsterdam dan Evanston.

 

Pada konferensi Faith and Order di Endinburg tahun 1937. Hadir dalam konferensi itu lima orang katolik Roma, yang tidak mewakili Gereja Katolik dan yang perlu diingat bahwa sebelum terjadinya perang dunia kedua semangat orang – orang protestan untuk mencari hubungan dengan Gereja Katolik Roma juga kurang, bahkan beranggapan bahwa gereja ini sesat hanya beberapa tokoh seperti Brent dan Soderblom menegaskan bahwa oikumene tanpa gereja Katolik Roma belum lengkap. Dalam hal ini bukan berarti bahwa tidak ada usaha – usaha untuk gerakan oikumene dari Katolik Roma.

 

Keesaan Menurut Yohanes 17: 20 – 26

      Tujuan utama gerakan oikumene yakni terwujudnya keesaan Gereja. Dan sebagai landasan,dengan begitu dampaknya sering menggunakan Yohanes 17:21, tetapi apakah memang keesaan gereja yang telah dirumuskan itu sesuai dengan Yohanes 17:21. Ada beberapa bagian Alkitab yang ada sangkut pautnya dengan membicarakan mengenai keesaan gereja. Salah satu diantaranya yaitu terdapat di dalam Yohanes 17:20 – 26. Bagian ini menunjukkan perhatian Tuhan Yesus yang khusus untuk semua orang yang percaya. Perhatian yang dominan dalam bagian ini adalah merupakan suatu kesatuan dan kemuliaan Ilahi. Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak.

·         Keberadaan kesatuan di antara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan Anak ada dalam kekekalan. Keduanya jelas sifat dasar kesatuan antara Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia. Ketika orang percaya bersatu dalam iman, maka mereka mempunyai kuasa dan pengaruh dalam menghadapi dunia.

·         Menurut Berkouwer, kesatuan dalam Yohanes 17:21, bukan kesatuan yang mistik atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan tetapi kesatuan oleh setiap orang percaya.

Kedua cara pandang ini mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan diantara orang percaya dalam realitas itu akan mungkin karena terlebih dahulu ada kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Kesatuan dintara orang percaya hanya dimungkinkan Karen kepercayaan kepada Kristus (Yohanes 17:20). Kesatuan diantara orang percaya berhubungan dan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan disini erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan, kemuliaan dan kasih, semuanya untuk dapat dilihat. Pemahaman tentang kesatuan diantara orang percaya atau gereja, hampir sejalan dengan pandangan yang ditemukan oleh Dr.Harun Hadiwijono yakni bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu adalah terletak dalam berkata dan perbuatan seperti yang difirman dan diperbuat oleh Bapa dan Anak. Perkataan dan perbuatan harus bisa mendemonstrasikan Firman dan karya Kristus dan Bapa. Disaat itulah dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau ini semua terjadi, maka dunia akan percara bahwa Allah Bapa benar – benar telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan dunia ini.

 

Gerakan Oikumene Injili (Konservatif)

            Pada umumnya denominasi gereja yang terlibat dalam gerakan oikumene adalah denominasi gereja yang bersifat liberal. Sedangkan denominasi gereja yang bersifat konservatif atau Injili tidak menjadi anggota WCC bahkan mendirikan lembanga untuk dapat menghadapi WCC. Di Indonesia persekutuan gereja Indonesia PGI adalah anggota WCC. Untuk menghadapi gerakan oikumene WCC, pihak Injili dan konservatif membutuhkan lembaga yang bersifat Injili, maka berdirilah beberapa lembaga.

·         NAE (National Accosation Evangelism)

Lembaga ini didirikan di Chicago yang mememiliki tujuan yang sebenarnya bukan untuk melawan WCC tetapi suatu respon terhadap ICCC (Komisi Internasional Church) dan menjadi aliran konservatif yang sangat ekstrem. ICCC didirikan oleh Karl Makintler dan menyatakan bahwa ICCC melawan paham Liberalism, melindungi Injili secara militant serta memberi kritikan bagi kaum konservatif yang kurang aktif. ICCC menuntut supaya denominasi gereja yang menjadi anggota WCC mengundurkan diri. Menurut mereka membentuk gereja dengan kaum liberal itu merupakan suatu hal yang mustahil dan tidak Alkitabiah. Setiap gerakan oikumene jelas ada kekurangan dan kelemahannya, hal itu dikarenakan oleh keadaan manusia yang terbatas. Namun semua gereja Injili merasa tidak ada alasan unuk menolak gerakan oikumene tersebut bahkan mereka mempraktekkan gerakan ini melalui berbagai kegiatan kebangkitan rohani.

 

 

·         Gerakan oikumene melalui kebangunan rohani

Sejak tahun 1950, melalui Billy Graham terjadilah suatu kebangunan rohani. Tuhan memakai Billy Graham secara luar biasa. Dimana Billy Graham berkhotbah disitu banyak orang dari berbagai macam denominasi gereja menjalin kerja sama untuk mengadakan KKR dengan Billy Graham tanpa membedakan denominasi gereja. Seluruh denominasi gereja merindukan berkat dan kasih karunia Tuhan, dan ibadah tersebut tanpa ada sikap curiga dan prasangka di setiap denominasi gereja.

 

Signifikansi Oikumene Dalam Perspektif Gereja

·         Pertama, Keragaman di Tubuh Kristus atau gereja, pada satu sisi sebagai keindahan gereja.[8]

·         Kedua, gereja bukan komunitas fiktif di dunia. Pergulatan gereja dalam membangun eksistensinya di dunia, bukan saja untuk kepentingan pembangunan jati dirinya, tetapi predikatnya sebagai “garam dan terang dunia”. Jatruh bangunnya gereja untuk meraih prestasi gemilang mewujudkan organisme yang menerangi sangat menarik untuk dikaji.

Sikap dan terhadap gerakan oikumenis, secara nyata gereja – gereja harus dapat mencapai keesaan gereja tersebut. Dengan lainnya gerakan oikumenis banyak denominasi gereja yang mendukung. Walaupun demikian ada juga gereja yang akibat dari upaya gerakan oikumenis tidak mau bergabung ada juga gereja yang akibat dari upaya gerakan oikumenis tidak mau bergabung yaitu Roma Katolik, salah satu cara Roma Katolik untuk mencapai kesatuan tersebut dengan menindas setiap kelompok Kristen, Calvin menunjuk jalan lain, kesatuan hanya dapat diperoleh kalau gereja mau takluk kepada kekuasaan Alkitab, padahal ukuran masing – masing gereja mempunyai tafsiran sendiri. Tetap berpegang pada kesatuan orang – orang Kristen terwujud jika mereka terpisah dari padanya murtad kembali kepada gereja Kristus yang benar sebab tak seorangpun yang dapat tinggi di gereja tanpa mengakui kekuasaan Petrus dan penggantinya.

 

 

Dasar dan tujuan gerakan oikumene di Indonesia

            Gerakan oikumene di Indonesia berawal dari pembentukan Dewan gereja – gereja di Indonesia pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta dalam konferensi pembentukkan DGI tanggal 22 – 28 Mei 1950 di Jakarta. Kemudian DGI berganti nama dengan menjadi persekutuan gereja – gereja di Indonesia (PGI) sejak siding raya DGI di Ambon 1984 dengan pertimbangan bahwa persekutuan lebih mencerminkan kesatuan lahir batin, lebih mendalam, lebih gerejawi daripada nama dewan. Pembentukkan organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Signifikansi gerakan oikumene di Indonesia adalah karena melihat keadaan gereja – gereja yang sering diwarnai perkelahian dan perpecahan. Harus diakui bahwa persoalan perbedaan pandangan teologis dan ambisi memiliki andil dalam perpecahan. Munculnya banyak denominasi di dunia dan terus ke Indonesia justru mengkotak – kotakkan umat Tuhan. Dan tidak jarang satu denominasi merasa lebih benar, lebih baik dan layak dibandingkan yang lain. Karena itu perlu dicarikan solusi dari keadaan ini melalui gerakan oikumene dengan melihat kepentingan terbesar dari semua kepentingan denominasi yaitu misi Tuhan di emban dengan penuh tanggungjawab oleh gereja. Dengan adanya gerakan oikumene diharapkan terjalin komunikasi dan interaksi diantara umat Tuhan dan denominasi dapat meninggalkan sikap isolasinya.

            Dalam perkembangannya gerakan oikumene di Indonesia juga semakin berkembang. Setelah PGI, kemudian lahirlan organisasi lokal yang oikumenis yakni:

·         Sinode Am gereja – gereja Sulawesi Utara/Tengah

·         POUK (persekutuan oikumene umat Kristen) di tempat sepeti pemukiman, perusahaan di mana umat Kristen dari berbagai gereja bertemu. POUK ini bukan gereja karena itu anggota POUK tetap menjadi anggota gereja masing – masing.

·         BK3 (Badan Kerjasama Kegiatan Kristen)

·         BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja)

·         Forum komunikasi Antar Gereja. Forum tidak melembaga, hanya merupakan pertemuan untuk membahas masalah – masalah atau maksud maksud lain, wadah ini tumbuh dari prakarsa gereja setempat. Anggotanya tidak terbatas pada gereja anggota PGI

 

Tantangan Yang Terjadi Pada Oikumene

Dalam berbicara tentang oikumene ada masalah yang menghambat usaha – usaha penyatuan gereja dan upaya oikumene yaitu:

a.       Masalah baptisan, ada gereja – gereja yang menyetujui baptisan anak dan ada yang menolaknya.

b.      Masalah perjamuan kudus. Menurut Roma Katolik dan gereja Ortodoks, dalam perjamuan kudus terjadi transubstansi. Artinya, roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus.

c.       Masalah jabatan, gereja RK, ortodoks dan Anglikan berpendapat bahwa Uskup sebagai pejabat gereja adalah pengganti rasul Petrus. Gereja – gereja Protestan berpendapat bahwa Rasul tidak diganti.

 

 

 

 

 

Dampak Oikumen Gereja Bagi Persatuan NKRI

            Apabila flashback tentang sejarah kebangsaan Indoenesia, tidak dapat dipungkiri bahwa negara Republik Indonesia ini terbentuk melalui perjuangan seluruh komponen bangsa. Sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI maupun pada masa sekarang, interaksi umat Kristen dalam perjuangan dan pembangunan nasional selalu diinspirasi dan dimotivasi semangat kekristenan yang oikumenis dan Injili serta rasa memiliki dan semangat perjuangan sebagai bagian dari bangsa. Dalam kitab Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Ayat ini menjelaskan bahwa umat Tuhan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dan masyarakat dimana ia berada. Orang Kristen di Indonesia bukan saja hanya tinggal di Indonesia tetapi juga merupakan bagian dan pemilik negeri ini. Karena itu orang Kristen mutlak harus mengerjakan kesejahteraan negeri ini. Mengusahakan kesejahteraan Indonesi merupakan tenggung jawab orang Kristen baik sebagai warga negara terlebih dahulu sebagai Utusan Tuhan.

            Sekarang ini tantangan bagi umat Tuhan yang semakin berat karena maraknya masalah yang mencabik – cabik rasa persatuan dan kesatuan di tengah anak bangsa. Penghargaan terhadap perbedaan / plurlisme budaya, suku, terlebih dahulu agama seakan tidak lagi mendapat tempat dihati kebanyakan orang. Dalam gerakan oikumene dalam dinamika pluralisme agama di negara RI seorang tokoh Elga. J. Sarapung bahwa gereja memiliki tugas sebagai berikut:

a.       Gereja yang ditunjuk untuk mengembangkan hubungan positif, kreatif, realistis dan transformative dengan pemerintah dan semua pihak di masyarakat

b.      Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan (bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia) dan keutuhan ciptaan di Indonesia.

Eksistensi gereja sebagai terang dan garam harus lebih nyata bagi Indonesia dan dunia. Eklusifisme harus dikikis dari kehidupan gereja. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis, gereja yang menjadi gereja sekelilingnya. Selama ini peran gereja sudah lebih banyak melayani diri sendiri, pelayanan yang bersifat internal saja, dan puas dengan ritual keagamaan. Gereja sebagai elemen bangsa tidak boleh tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada. Persoalan politik, sosial, ekonomi dan lainnya harus disikapi dengan bijak dan dicarikan solusinya. Gereja perlu aktif dalam melakukan transformasi menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.

Dalam hal kemasyarakatan misalnya gereja harus berperan menyatakan harapannya agar gereja juga memiliki kepekaan dan ikut serta mengatasi problematika kehidupan berbangsa, khususnya masalah kemiskinan, karena gereja juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Kemiskinan krisis sebuah sebab, tetapi lebih kepada akibat ketidakadilan dan korupsi. Gereja tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan, “tegasnya. Gereja harus semakin menyatu dengan keadaan dalam arti dapat melihat dan meraskan masalah bangsa, dan yang berperan nyata terhadap masalah yang ada di tengah – tengah masyarakat. Gereja yang dipanggil bukan semata – mata dirinya sendiri tetapi melayani pengunjung tanpa pandang bulu. Jemaat – jemaat gereja harus di dorong dan diajar untuk peduli terhadap orang – orang miskin. Jemaat bisa diberdayakan dengan saling membantu untuk memperhatikan keadaan ekonomi anggota – anggota jemaat dan masyarakat. Salah satu upaya kecil yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pelatihan untuk membuat kerajinan tangan, bercocok tanam, melatih memanfaatkan lahan yang ada. Dengan tindakan ini maka umat yang beragama lain bisa ikut berpartisipasi tanpa membedakan suku, agama dan ras. Jadi, realitas yang ada, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi gereja untuk bangsa dan duni, maka umat Tuhan harus terus beroikumene, bekerja sama menyuarakan suara bagi bangsa Indonesia, mengukur dan mengupayakan pelaksanaan persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat NKRI.

Dampak gerakan oikumene, munculnya gerakan oikumenis yang membawa dampak terhadap gereja – gereja yang ada natara lain:

a.       Munculnya badan – badan penginjilan yang sangat mendukung dan memberikan sumbangan yang membangun bagi gereja – gereja. Contohnya adalah gerakan faith and order yang membicarakan ajaran dan oraganisasi gereja, life and work yang berkaitan dibidang sosial dan politik juga international missionary council (IMC) yang membuat peranan gereja Asia dan Afrika yang semula kecil menjadi semakin penting.

b.      Selama Perang Dunia II 1942 – 1945 Indonesia seluruhnya di duduki oleh Tentara Dai Nippon. Gereja – gereja di Indonesia tidak dapat berbuat lain selain berusaha meneruskan pelayanannya dan kesaksiannya selaku gereja – gereja yang berdiri sendiri. Di waktu itulah gereja terpaksa mencari hubungan dengan yang lain, pimpinan tentara Jepang mendorong untuk membentuk badan – badan kerjasama gereja – gereja dengan nama Regokai yang di dalamnya gereja Roma ikut serta.

 

 

Aplikasi Konsep Gerakan Oikumene

            Dengan adanya gerakan oikumene maka hal ini memberikan perwujudan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Meskipun implikasi dari konsep gerakan oikumene beranekaragam melalui serangkaian proses dalam mencari format yang tepat sesuai dengan perkembangannya, namun aplikasinya sudah dirasakan manfaatnya. Dari pusat organisasi – organisasi oikumene di Jenewa, dan juga oleh gereja sendiri banyak pertolongan diberikan kepada kaum pengungsi, orang – orang tawanan dari daerah Zending yang ditanggalkan dengan tidak mempunyai pengantar, juga mengadakan hubungan antar negara yang terpisah oleh garis peperangan. Kegiatan ini tanpa memperdulikan perbedaan agama, ras, suku bangsa dan perbedaaan – perbedaan yang lain. Selain manfaat yang telah disebutkan di atas, gerakan ini menimbulkan gagasan untuk mengadakan dialog dengan umat beragama lain. Kata dialog antar umat beragama menunjuk kepada pertemuan serta percakapam anatar orang – orang yang berbeda agama yang diadakan untuk saling mengenal dan saling belajar mengenai agama yang diyakini. Antara dialog dan pekabaran Injil terdapat hubungan erat. Timbul kesadaran bahwa kesaksian mengenai Kristus bukan gerakan satu arah saja, dari yang bersaksi kepada yang menerima saksi seakan – akan orang Kristen sudah tahu segala – galanya dan orang – orang yang bukan Kristen tidak tahu apa – apa. Kata dialog tidak semata – mata dimaksudkan sebagai kata halus untuk pekabaran Injil. Usaha untuk mengadakan dialog didorong oleh pendapat bahwa bagaimanapun juga cara terbaik untuk bersaksi mengenai iman sendiri kepada orang lain, perlu orang – orang yang berbeda agama, saling mengenal dan mengerti dalam dunia dimana komunikasi dan pergaulan antar manusia semakin intensif.

            Hal tersebut sampai saat sekarang menumbuhkan ide oikumene global, yang tidak hanya membawa bentuk penyatuan antara orang – orang Kristen tetapi juga penyatuan seluruh keyakinan yang berbeda di dunia. Dialog antar iman antar anggota keimanan yang berbeda telah meningkatkan kesadaran dimensi global dalam persoalan agama. Para teolog terkemuka, juga para pemikir agama, mulai membahas persoalan yang bersifat global, yang menekankan saling keterkaitan dalam ide – ide keagamaan dan kehidupan spiritual seperti dalam permasalahan ekonomi. [9]gagasan untuk mengadakan dialog dengan orang – orang dari agama lain sebenarnya terdengar sejak permulaan gerakan oikumene pada konferensi pekabaran Injil di Edinburgh (1910) dan dapat didengar juga pada komperensi IMC di Yerusalem (1928) dan Tambaran (1938). Dialog pada waktu itu terutama dilihat sebagai usaha untuk mengambil yang paling baik dari semua agama. Pada siding raya DGD di Evanston (1954), dalam laporan mengenai Evangelism muncul motif baru untuk mengadakan dialog. Dalam diskusi tentang peranan orang – orang Kristen di Nattion – Building timbul kesadaran bahwa selain ideology juga agama memainkan peran penting.

 

           

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

           

Oikumene merupakan usaha gereja untuk bersatu dalam mewujudkan visi Tuhan dalam kehidupan berjemaat. Ada banyak pergerakan ini didukung oleh para tokoh yang terkenal dan memilik pengaruh yang kuat untuk mendukung gerakan ini. Dalam kontek berbangsa dan bernegara maka oikumene harus dijalankan sesuai dengan azas peraturan pemeritah Daerah yang sudah ditetapkan di sepakati bersama. Hal ini sangat terlihat bahwa upaya orang – orang beriman dalam menjalin relasi yang baik, toleransi dengan perbedaan dari berbagai hal (Agama, ras, budaya). Inilah gereja yang memiliki tujuan dalam memajukan dan mengembangkan  potensi dalam melakukan pendekatan dengan lebih leluasan dan melalui hal ini jaga digunakan jalur penginjilan baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

 

 

 

 



[1] Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial (Diskursus Teologi tentang Isu – isu kontemporer), pustaka Cidesindo, Jakarta, 1998, halaman 19

[2] Th. Sumarthana, beberapa aspek tentang konflik dan dialog dalam konteks pluralism agama di Indonesia, PT Pusataka Cidesindo, Jakarta, 2001, halaman 3

[3] Hadianto Atmaja, Dialog adan Edukasi, BPK: Gunung Mulia, Jakarta, 1994, halaman 41

 

[4] Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda (Membangun Saling Pengertian Muslim – Kristen), Adipura, Yogyakarta, 2000, Halaman 173.

[5] Dr. I. H. Enklar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995, halaman 342.

 

[6] Menurut C.F. H. Henry “The Modern view locates the essence of Christian unity in a visible organic structurereflection one world church under a single hierarchy. Lih. Artikelnya “The Ecumenical Age: Problem and Promise,” Bibliotheca Sacra 123, no 491, Juli – September 1966, halaman 206.

[7] Tafsiran dari sudut pandang Reformasi oleh W. Hendriksen, The Gospel of John, London: The Banner of Thruth Trust, 1973, halaman 364 – 365.

[8] D. A. Gereja Zaman Perjanjian Baru & Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 1997), Halaman 55 – 56

[9] Cristian D.Jonge, Halaman 181 – 182 

Post a Comment

0 Comments